CIAO INDONESIA

Selasa, 22 Februari 2011

TENTANG ALAM

PEDULIKAH AKU AKAN HARMONI LINGKUNGAN HIDUP?

Pengantar

Dewasa ini, motif-motif penghancuran alam lebih dikarenakan alasan ekonomi. Manusia sebagai pelaku bisnis ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan alam. Alasan-alasan rasional seringkali digunakan untuk membendung arus protes mereka yang mengusung tema go green . Bukan tidak mungkin bumi ini akan semakin kehilangan makna sakral sebagai ciptaan Tuhan yang indah. Alih-alih menjadi tempat tinggal yang nyaman, bumi semakin kehilangan identitasnya sebagai tempat kehidupan bagi setiap ciptaan. Demi keuntungan ekonomis dan pembangunan yang hanya identik dengan gedung-gedung tinggi, ekologi dihancurkan hanya untuk pembangunan yang tidak memperhatikan keramahan terhadap lingkungan tempat kita tinggal.

Berhadapan dengan persoalan yang sedemikian rumit, setiap orang ditantang untuk menentukan disposisi dirinya. Ia dituntut untuk berani bertindak, bukan hanya membela tempat tinggalnya sendiri, juga bukan pula menghindarinya dengan lari kepada dunia “yang akan datang”, melainkan bertanggung jawab atas bumi tempat berpijak. Tanggung jawab perlu dilakukan untuk mengatasi persoalan ini. Masihkah kita berani mengklaim bahwa diri kita adalah orang beriman dengan merusak lingkungan dan diam tatkala bumi tempat untuk tinggal itu rusak perlahan-lahan? Apakah iman itu dapat berkembang kepada pengalaman akan Allah? Pertanyaan ini menggugah kesadaran kita bahwa kita tidak boleh berpangku tangan. Bumi adalah bagian dari diri kita. Tanpa adanya lingkungan hidup yang memadai, kita kehilangan bagian diri kita yang penting. Satu-satunya yang jelas saat ini adalah kita bertanggung jawab atas rusaknya lingkungan hidup kita dari pemusnahan ‘diam-diam’.

Beriman tidak bisa dilepaskan dari bertindak untuk menyelamatkan lingkungan hidup kita. Beriman tidak hanya sebatas pada soal ritual di ruang peribadatan, tetapi juga menyangkut melestarikan alam dan lingkungan hidup. Ini didasari pada hubungan antara Sang Pencipta yang menciptakan alam dan tugas kita sebagai ciptaan untuk melestarikan serta merawatnya. Sehingga, kita pantas mengajukan pertanyaan, apakah nurani kita masih mengingatkan kita akan dampak-dampak pengrusakan lingkungan yang kita timbulkan? Jika kita masih memalingkan muka, itu tandanya kita tidak mampu lagi untuk menaruh perhatian pada kenyataan hidup bahwa alam membutuhkan pembaruan. Usaha kita untuk beriman di tengah lingkungan hidup seakan mati dan tidak menghasilkan kebaruan apapun.

Ekologi dan persoalan lingkungan hidup

Istilah ‘ekologi’ terbentuk dari dua kata dasar Yunani, yaitu oikos (rumah, tempat tinggal) dan logos (kata, uraian). Secara harfiah, ekologi berarti penyelidikan tentang organisme-organisme dalam jagat raya. Ekologi juga memuat definisi yang bervariasi, sehingga kita tidak perlu melihat secara keseluruhan. Meski demikian, baiklah kita melihat satu definisi yang jelas. Ekologi dapat dirumuskan sebagai ilmu atau studi tentang organisme dalam hubungan dengan seluruh lingkungan hidup. Ekologi berusaha menyoroti, menganalisis, dan memajukan seluruh unsur dalam alam semesta.[1]

Ekologi bertanggung jawab untuk memberikan solusi bagaimana membuat lingkungan hidup ini menjadi hunian maupun tempat tinggal yang asri. Namun yang terjadi ternyata kebalikannya. Manusia belum mampu untuk memaksimalkan peran ekologi dalam melindungi lingkungan hidup ini. R.E. Suryaatmaja menulis demikian, “Perhatian terhadap SDA dalam bentuk air, tanah, udara, tumbuh-tumbuhan, seharusnya berada dalam domain ekologi. Tetapi sayang, orang-orang ekologi (dan juga orang-orang ekonomi) yang memperhatikan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan air, tanah, melihatnya sebagai kebutuhan untuk menunjang ekonomi. Mereka terlalu asyik mempelajari hubungan tersebut sehingga tidak bermakna ekonomi yang sesungguhnya.”[2] Kita bisa saja melihat ada hubungan antara kenyataan bahwa kita harus menaklukan alam demi kehidupan manusia, tetapi lantas kita tidak bisa seenaknya memperlakukan alam sekehendak hati kita. Ini tidak sinkron dengan iman yang kita hayati.

Kenyataan ini membelalakan mata kita. Tidak saja karena kita telah merusak lingkungan, tetapi juga karena kita tidak mampu untuk menanggulangi persoalan ini. Lantas, bencana alam pun tidak dapat dihindarkan lagi. Banjir, tanah longsor, kekeringan, wabah penyakit dan seterusnya. Akibat yang paling mencolok adalah bahaya kelaparan. Ini adalah sebuah kontradiksi atas pernyataan bahwa negeri kita ini subur dan berlimpah akan hasil alam. Namun kenyataanya, banyak penduduk yang masih menderita kelaparan. Aloys Budi Purnomo menulis demikian, “Ketika kebutuhan pokok akan pangan terancam, masihkah bangsa kita tetap beriman kepada Allah? Benarkah krisis pangan dapat menyebabkan inkonsistensi religius? Dapatkah yang terjadi sebaliknya, rakyat makin beriman kepada Allah apapun agamanya?”[3]

Kita bertanggung jawab atas lingkungan hidup

Iman yang dihayati dalam hidup seringkali memuat gagasan penting bagi kelangsungan alam dan hidup kita sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa alam menjadi tempat kita tinggal, dan tempat kita melangsungkan kegiatan keimanan kita. Alam yang indah mencerminkan kekayaan iman yang terpancar. Alam menjadi tempat untuk berefleksi tentang keagungan Allah yang terpantul dalam misteri alam.

Lemahnya kesadaran kita terhadap lingkungan hidup juga terjadi karena adanya anggapan yang memandang bahwa pemanfaat alam bagi manusia itu adalah hal yang “wajar”.[4] Pernyataan ini menimbuilkan ketidakharmonisan antara iman yang kita hayati dengan lingkungan yang kita tinggali. Letaknya di sini, yakni ketidakpedulian kita akan kondisi lingkungan menjadikan kita apatis. Kita bersikap seolah membiarkan saja kenyataan ini tanpa melihat akibatnya dalam jangka panjang.

Sudah seharusnya kita mampu melihat kembali makna kedalaman iman kita. Beriman tentu bukan soal menggunakan dan menghabiskan kekayaan alam, tetapi juga mampu untuk merawat dan melestarikan. Sekarang, kita perlu untuk membuka diri kita, sudah sejauh mana iman itu berhasil kita padukan dengan menjaga lingkungan. Jika tidak, mungkin hati kita sudah tumpul dan tidak mampu lagi mendengar jeritan lingkungan yang rusak dan mereka yang menjadi korban bencana alam karena kecerobohan kita.



[1] Dr. William Chang, OFMCap, Moral Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm.13-14.

[2] Dr. R.E. Suryaatmaja, “Peta dan Masalah Dasar Ekologi”, dalam Iman Ekonomi dan Ekologi refleksi lintas ilmu dan lintas agama, J.B.Banawiratma, SJ, dkk. (Eds.), (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 39.

[3] Aloys Budi Purnomo, “Agama, Rakyat, Nasi, dan Peran Petani”, dalam Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik, (Jakarta: Buku Kompas, 2003), hlm. 40.

[4]http:// herwanparwiyanto.staff.uns.ac.id/.../herwnlingkungan-dlm-kajian-etika-dan- moral.doc, diakses tanggal 17 Desember 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar