CIAO INDONESIA

Jumat, 06 Mei 2011

Kearifan Lokal dalam Keluarga Jawa

Pengantar

Dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud menjelaskan hakikat keluarga Jawa secara menyeluruh. Sebab, keluarga Jawa merupakan sebuah realitas yang kompleks dan membutuhkan suatu penelitian yang komprehensif. Penulis membatasi persoalan seputar kehidupan keluarga Jawa secara umum. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa keluarga Jawa semakin mendapat tantangan dari kehidupan modern yang mengedepankan segi individualitas dan peran orang tua yang kian luntur. Penulis hanya ingin memberikan sedikit gambaran tentang kearifan lokal yang terkandung dalam keluarga Jawa yang hidup dalam kesehariannya.

Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang mencakup banyak dimensi, salah satunya ialah dimensi keluarga. Keluarga dalam masyarakat Jawa dipahami sebagai sebuah tempat di mana para anggotanya memperoleh kebahagiaan dan kebebasan. Keluarga juga adalah tempat untuk menemukan keamanan dan perlindungan. Franz Magnis-Suseno menjelaskan demikian:

“Bagi individu Jawa keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Itu pertama-tama berlaku tentang orang tua. Mereka adalah sumber pertama kesejahteraan jasmani dan rohani bagi anak mereka, dari mereka ia menerima segala macam kebaikan, dan berkat mereka ia memperolah kedudukannya dalam masyarakat. Mereka memberikan cinta kasih mereka kepada anaknya dan segala apa yang dibutuhkannya, tanpa menghitung dan tanpa prasyarat. Mereka selalu bersedia untuk memaafkan kekeliruan dan kenakalan-kenakalannya, dan dalam segala keadaan kehidupan mereka merupakan batu karang keamanan baginya.”[1]

Lebih lanjut menurut Magnis-Suseno, cinta kasih orang tua senantiasa dicurahkan kepada anak-anak mereka dalam bentuk pemenuhan kebutuhan hidup dan kasih sayang (tresna). Kebiasaan-kebiasaan moral selalu ditekankan agar anak-anak tumbuh sebagai orang yang tahu sopan santun dan mempunyai rasa malu (isin).

Selain itu, orang Jawa memiliki kultur budaya di mana mereka diwajibkan untuk hidup dalam perkawinan. Mereka biasanya mengikuti acara perjodohan yang dilakukan oleh orang tua mereka. Mereka yang tidak mengikuti tatanan ini akan dianggap sebagai orang yang tidak mengikuti tradisi. Tradisi ini biasanya dibawa dalam suatu tata cara ritual yang harus dijalani oleh orang tua maupun anak-anak mereka yang akan dijodohkan. Hanya saja belakangan ini, anak-anak yang sudah mendapat kebebasan dalam mengenyam pendidikan terkadang menolak perjodohan dan berusaha mencari pasangan mereka sendiri. Ada kalanya, anak-anak yang demikian dipandang kurang menaruh hormat dan taat terhadap orang tua. Perlakuan yang tidak hormat dapat menimbulkan akibat-akibat moral (walat)[2]. Namun, perkawinan tetap dipandang sebagai bagian dari kehidupan orang Jawa.

“kawin dan menjadi orang tua adalah suatu kenyataan alam dan suatu kewajiban terhadap tatanan kehidupan. Tidak mengikuti tugas ini akan dianggap sebagaii aneh dan tidak jawa.”[3]

Tantangan terhadap keluarga Jawa

Dewasa ini, keluarga Jawa dapat dikatakan sudah berbeda dengan keluarga Jawa pada zaman dulu. Persoalan kehidupan keluarga Jawa sekarang amat kompleks karena perbagai benturan dan pengaruh budaya asing. Selain dari luar, persoalan pun dapat muncul dari dalam keluarga itu sendiri. Percekcokan karena perbedaan pandangan, masalah ekonomi, dan akhirnya perceraian menjadi sesuatu yang kerap terdengar. Sehingga, kita harus melihat kedua asal kemunculan persoalan tersebut agar dapat mengetahui bagaimana tantangan-tantangan tersebut mempengaruhi kehidupan keluarga Jawa.

Pertama, pelanggaran terhadap norma yang berlaku dalam keluarga Jawa dan secara luas dalam masyarakat disebabkan oleh ketidaktahuan para anggotanya terhadap nilai luhur mereka sendiri. Kenyataan ini seringkali mendapat pengamatan dari orang-orang Jawa sendiri yang ikut serta merasakan bahwa tradisi mereka tergerus oleh arus modernitas. Ada semacam ketegangan yang terjadi antara pandangan yang tetap memegang teguh tradisi dan pandangan yang terbuka terhadap perkembangan.

Hal kedua yang ikut mendorong terjadinya persoalan dalam hidup keluarga Jawa ialah tidak dipatuhinya norma-norma yang berlaku dalam suatu hubungan antara orang tua dan anak-anak mereka. Persoalan ini sering dikaitkan dengan persoalan budaya asing yang sudah merasuki alam pikiran anak-anak dewasa ini serta perkembangan mode dan trend. Bagi orang tua, anggapan bahwa anak-anak belum mengerti sepenuhnya seputar dunia luar ikut mempengaruhi peran orang tua. Sehingga, orang tua berkewajiban untuk ikut membentengi anak-anak dari pengaruh buruk di luar keluarga. Entah dengan cara yang halus, entah dengan cara yang sedikit kasar tidak menjadi persoalan, terutama pendidikan orang tua dulu. Ini adalah tantangan serius tentang bagaimana kuatnya pengaruh asing yang masuk dalam ranah keluarga.

Mengikuti Tatanan Hidup

Orang Jawa menginginkan kehidupan keluarga yang harmonis dan menjadi tempat yang baik untuk anak-anak mereka. Mereka berusaha menumbuhkan kesan harmonis dalam keluarga, sebab keluarga adalah tempat anak-anak mereka pertama-tama tumbuh menjadi seorang pribadi. Orang tua mencintai anak-anak mereka dengan memberikan pelajaran hidup dan memenuhii kebutuhan mereka. Anak-anak pun diharapkan menaruh hormat kepada orang tua mereka dengan berlaku sopan dan taat. Demikian pula halnya dengan keserasian antara suami dan istri sangat ditekankan dalam keluarga Jawa. Kehidupan yang mesra dan rukun adalah prioritas yang utama.

“Harapan hidup berumah tangga adalah keserasian yang meliputi seluruh warganya. Hal ini tercermin dalam hubungan antara suami dan isteri. Suatu rumah tangga yang penuh terisi pertentangan antara suami dan isteri memberikan bukti bahwa hidup mereka di dalam keluarga tidak serasi. Sebaliknya hubungan suami isteri yang serasi, rukun, tenteram, bahagia, tidak pernah cekcok, memenuhi undangan (harapan) orang tuanya yaitu hidup serasi laksana mimi lan mituno.[4]

Pandangan tentang tatanan hidup adalah pandangan khas untuk mengetahui kehidupan di Jawa, khususnya keluarga Jawa. Mereka sangat menghargai tatanan hidup dan berusaha untuk menghidupinya. Orang Jawa tidak menyukai hal-hal yang kurang sopan dan tidak beradab. Mereka mengajarkan kebiasaan baik kepada anak-anak mereka dan melarang untuk berbuat yang tidak sopan. Hal ini dapat terlihat dari ungkapan mikul dhuwur, mendhem jero. Secara hurufiah, mikul dhuwur berarti “memikul setinggi-tingginya”, yaitu nama baik dan moral yang tak bercela harus dijunjung tinggi. Sedangkan mendhem jero berarti “menanam dalam-dalam”, yaitu segala sesuatu yang menimbulkan ketidakselarasan, perasaan agrasif, atau apa saja yang dirasakan negatif mengenai kehidupan keluarga, terutama dalam hubungan antara orang tua dan anak-anak. Ketidakselarasan dapat dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar tatanan. Demikianlah penjelasan Niels Mulder tentang pandangan orang Jawa mengenai tatanan:

“salah satu kunci untuk mengerti kehidupan di Jawa adalah keinginan orang Jawa akan terciptanya tatanan. Sekalipun ada kesadaran yang kuat bahwa kehidupan dan nasib seseorang berkembang sendiri dalam batas-batas tata Hidup yang besar, namun tatanan itu dirasakan sebagai bersifatgaib dan di luar kekuasaan seseorang secara langsung.”[5]

Untuk mewujudkan keluarga yang demikian tidak pernah mudah. Anggapan bahwa banyak anak banyak rejeki tidak serta merta dapat terwujud, apalagi dalam keluarga yang kurang mampu. Karena itu, mereka harus memahami tantanan yang baik. Tatanan yang baik nyata dalam berbuat aktif membentuk keberadaan seseorang sambil bersikap setia akan tempatnya dalam kehidupan ini.[6] Orang Jawa yang hidup dalam kehidupan berkeluarga dituntut untuk menyelaraskan pandangannya terhadap tatanan. Sebagai orang tua, mereka berkewajiban untuk menjaga agar anak-anak mereka dapat tumbuh menjadi orang yang njawani, yaitu tahu sopan santun, taat, ramah, dan tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Sedangkan sebagai anak, mereka berkewajiban untuk mengabdi orang tua dan mengamalkan segala pelajaran hidup yang telah mereka terima dari orang tua. Sehingga, diharapkan mereka kelak dapat menjalankannya ketika mereka berperan sebagai orang tua dalam keluarga.

Daftar Pustaka

Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia. 1985.

Mulder, Niels. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996.

Purwadi. Cokro Manggilingan konsep hidup jawa untuk menggapai ketentraman lahir batin. Yogyakarta: Gelombang Pasang. 2006.



[1] Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa sebuah analisa falsafi tentang Kebijaksanan Hidup Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 169.

[2] Niels Mulder, Pribadi dan masyarakat di Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm.46.

[3] Niels Mulder, hlm.36.

[4] Dr. Purwadi, M.Hum dan Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum, Cokro Manggilingan konsep hidup jawa untuk mencapai ketentraman lahir batin, (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006), hlm. 17.

[5] Niels Mulders, Ibid. hlm 34.

[6] Niels Mulder, Ibid. hlm 35

Selasa, 22 Februari 2011

TENTANG ALAM

PEDULIKAH AKU AKAN HARMONI LINGKUNGAN HIDUP?

Pengantar

Dewasa ini, motif-motif penghancuran alam lebih dikarenakan alasan ekonomi. Manusia sebagai pelaku bisnis ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan alam. Alasan-alasan rasional seringkali digunakan untuk membendung arus protes mereka yang mengusung tema go green . Bukan tidak mungkin bumi ini akan semakin kehilangan makna sakral sebagai ciptaan Tuhan yang indah. Alih-alih menjadi tempat tinggal yang nyaman, bumi semakin kehilangan identitasnya sebagai tempat kehidupan bagi setiap ciptaan. Demi keuntungan ekonomis dan pembangunan yang hanya identik dengan gedung-gedung tinggi, ekologi dihancurkan hanya untuk pembangunan yang tidak memperhatikan keramahan terhadap lingkungan tempat kita tinggal.

Berhadapan dengan persoalan yang sedemikian rumit, setiap orang ditantang untuk menentukan disposisi dirinya. Ia dituntut untuk berani bertindak, bukan hanya membela tempat tinggalnya sendiri, juga bukan pula menghindarinya dengan lari kepada dunia “yang akan datang”, melainkan bertanggung jawab atas bumi tempat berpijak. Tanggung jawab perlu dilakukan untuk mengatasi persoalan ini. Masihkah kita berani mengklaim bahwa diri kita adalah orang beriman dengan merusak lingkungan dan diam tatkala bumi tempat untuk tinggal itu rusak perlahan-lahan? Apakah iman itu dapat berkembang kepada pengalaman akan Allah? Pertanyaan ini menggugah kesadaran kita bahwa kita tidak boleh berpangku tangan. Bumi adalah bagian dari diri kita. Tanpa adanya lingkungan hidup yang memadai, kita kehilangan bagian diri kita yang penting. Satu-satunya yang jelas saat ini adalah kita bertanggung jawab atas rusaknya lingkungan hidup kita dari pemusnahan ‘diam-diam’.

Beriman tidak bisa dilepaskan dari bertindak untuk menyelamatkan lingkungan hidup kita. Beriman tidak hanya sebatas pada soal ritual di ruang peribadatan, tetapi juga menyangkut melestarikan alam dan lingkungan hidup. Ini didasari pada hubungan antara Sang Pencipta yang menciptakan alam dan tugas kita sebagai ciptaan untuk melestarikan serta merawatnya. Sehingga, kita pantas mengajukan pertanyaan, apakah nurani kita masih mengingatkan kita akan dampak-dampak pengrusakan lingkungan yang kita timbulkan? Jika kita masih memalingkan muka, itu tandanya kita tidak mampu lagi untuk menaruh perhatian pada kenyataan hidup bahwa alam membutuhkan pembaruan. Usaha kita untuk beriman di tengah lingkungan hidup seakan mati dan tidak menghasilkan kebaruan apapun.

Ekologi dan persoalan lingkungan hidup

Istilah ‘ekologi’ terbentuk dari dua kata dasar Yunani, yaitu oikos (rumah, tempat tinggal) dan logos (kata, uraian). Secara harfiah, ekologi berarti penyelidikan tentang organisme-organisme dalam jagat raya. Ekologi juga memuat definisi yang bervariasi, sehingga kita tidak perlu melihat secara keseluruhan. Meski demikian, baiklah kita melihat satu definisi yang jelas. Ekologi dapat dirumuskan sebagai ilmu atau studi tentang organisme dalam hubungan dengan seluruh lingkungan hidup. Ekologi berusaha menyoroti, menganalisis, dan memajukan seluruh unsur dalam alam semesta.[1]

Ekologi bertanggung jawab untuk memberikan solusi bagaimana membuat lingkungan hidup ini menjadi hunian maupun tempat tinggal yang asri. Namun yang terjadi ternyata kebalikannya. Manusia belum mampu untuk memaksimalkan peran ekologi dalam melindungi lingkungan hidup ini. R.E. Suryaatmaja menulis demikian, “Perhatian terhadap SDA dalam bentuk air, tanah, udara, tumbuh-tumbuhan, seharusnya berada dalam domain ekologi. Tetapi sayang, orang-orang ekologi (dan juga orang-orang ekonomi) yang memperhatikan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan air, tanah, melihatnya sebagai kebutuhan untuk menunjang ekonomi. Mereka terlalu asyik mempelajari hubungan tersebut sehingga tidak bermakna ekonomi yang sesungguhnya.”[2] Kita bisa saja melihat ada hubungan antara kenyataan bahwa kita harus menaklukan alam demi kehidupan manusia, tetapi lantas kita tidak bisa seenaknya memperlakukan alam sekehendak hati kita. Ini tidak sinkron dengan iman yang kita hayati.

Kenyataan ini membelalakan mata kita. Tidak saja karena kita telah merusak lingkungan, tetapi juga karena kita tidak mampu untuk menanggulangi persoalan ini. Lantas, bencana alam pun tidak dapat dihindarkan lagi. Banjir, tanah longsor, kekeringan, wabah penyakit dan seterusnya. Akibat yang paling mencolok adalah bahaya kelaparan. Ini adalah sebuah kontradiksi atas pernyataan bahwa negeri kita ini subur dan berlimpah akan hasil alam. Namun kenyataanya, banyak penduduk yang masih menderita kelaparan. Aloys Budi Purnomo menulis demikian, “Ketika kebutuhan pokok akan pangan terancam, masihkah bangsa kita tetap beriman kepada Allah? Benarkah krisis pangan dapat menyebabkan inkonsistensi religius? Dapatkah yang terjadi sebaliknya, rakyat makin beriman kepada Allah apapun agamanya?”[3]

Kita bertanggung jawab atas lingkungan hidup

Iman yang dihayati dalam hidup seringkali memuat gagasan penting bagi kelangsungan alam dan hidup kita sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa alam menjadi tempat kita tinggal, dan tempat kita melangsungkan kegiatan keimanan kita. Alam yang indah mencerminkan kekayaan iman yang terpancar. Alam menjadi tempat untuk berefleksi tentang keagungan Allah yang terpantul dalam misteri alam.

Lemahnya kesadaran kita terhadap lingkungan hidup juga terjadi karena adanya anggapan yang memandang bahwa pemanfaat alam bagi manusia itu adalah hal yang “wajar”.[4] Pernyataan ini menimbuilkan ketidakharmonisan antara iman yang kita hayati dengan lingkungan yang kita tinggali. Letaknya di sini, yakni ketidakpedulian kita akan kondisi lingkungan menjadikan kita apatis. Kita bersikap seolah membiarkan saja kenyataan ini tanpa melihat akibatnya dalam jangka panjang.

Sudah seharusnya kita mampu melihat kembali makna kedalaman iman kita. Beriman tentu bukan soal menggunakan dan menghabiskan kekayaan alam, tetapi juga mampu untuk merawat dan melestarikan. Sekarang, kita perlu untuk membuka diri kita, sudah sejauh mana iman itu berhasil kita padukan dengan menjaga lingkungan. Jika tidak, mungkin hati kita sudah tumpul dan tidak mampu lagi mendengar jeritan lingkungan yang rusak dan mereka yang menjadi korban bencana alam karena kecerobohan kita.



[1] Dr. William Chang, OFMCap, Moral Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm.13-14.

[2] Dr. R.E. Suryaatmaja, “Peta dan Masalah Dasar Ekologi”, dalam Iman Ekonomi dan Ekologi refleksi lintas ilmu dan lintas agama, J.B.Banawiratma, SJ, dkk. (Eds.), (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 39.

[3] Aloys Budi Purnomo, “Agama, Rakyat, Nasi, dan Peran Petani”, dalam Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik, (Jakarta: Buku Kompas, 2003), hlm. 40.

[4]http:// herwanparwiyanto.staff.uns.ac.id/.../herwnlingkungan-dlm-kajian-etika-dan- moral.doc, diakses tanggal 17 Desember 2010.

PENGHARAPAN ANAK-ANAK ALLAH

Pengharapan anak-anak Allah (Roma 8:18-25)

Seorang TKI pergi merantau ke luar negeri untuk mencari penghasilan yang layak. Tentu saja, dia menginginkan bahwa suatu saat dia akan pulang dengan membawa sejumlah uang yang banyak. Dia tidak peduli meski mendengar banyak berita tentang kekerasan yang dialami para TKI di tempat kerja. Ia bertekad untuk tetap pergi karena kondisi keuangan yang mendesak. Harapan untuk mengubah nasib menjadi lebih baik begitu besar tertanam dalam hatinya. Ia sudah siap apabila di sana, ia akan mendapat hukuman asal ia bisa mewujudkan keinginannya. Dia sungguh percaya bahwa suatu saat harapannya itu akan terwujud.

Setiap manusia mengharapkan segala sesuatu yang terbaik, yang membahagiakan, yang menggairahkan dan mengesankan. Dalam hidupnya, jarang seseorang mengharapkan sesuatu yang buruk tentang hidupnya. Ada banyak harapan yang sudah dibuat ketika kita menginjak awal tahun yang baru. Kita berdoa dengan sepenuh hati agar Tuhan senantiasa memberkati setiap usaha kita. Ada yang mengharapkan mempunyai komitmen baru untuk menjadi lebih sabar, ada yang membuat komitmen untuk menjadi orang baik, bahkan ada yang berkomitmen untuk menjadi manusia yang baru. Belum lagi yang mengharapkan sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal lahiriah. Bagaimanakah dengan harapan kita, apakah sudah terwujud, ataukah harapan itu tinggal sebagai harapan saja?

Harapan seringkali tidak mudah diwujudkan dengan kenyataan yang sesungguhnya. Harapan sudah tidak mempunyai gema lagi karena orang menutup mata terhadap kenyataan hidup yang sesungguhnya. Biarpun demikian, harapan tidak bisa musnah. Kita bisa melihat bagaimana orang-orang sudah tidak menghargai lagi kejujuran dan kebaikan. Orang mudah berlaku curang untuk menutupi kesalahan. Buat apa berharap di tengah ketidakpastian, ketidakjujuran, kemunafikan? Pada zaman sekarang ini, banyak harapan kosong yang ditawarkan oleh dunia. Harapan yang penuh dengan janji-janji palsu bermunculan di mana-mana. Orang-orang yang sibuk menarik simpati dan perhatian, cenderung menebarkan harapan dan janji kosong. Demikian pula, mereka yang mengandalkan diri sendiri. Misalnya saja, orang seringkali mengandalkan diri pada materi yang dimilikinya. Orang tidak sadar bahwa kekayaan materi tidak mampu menyelamatkan hidup manusia. Inikah yang kita inginkan? Tentu saja tidak.

Kita memerlukan harapan yang sesungguhnya. Harapan ini tidak ditawarkan oleh dunia, karena dunia tidak pernah rela tapi selalu bersyarat. Harapan satu-satunya hanya kita sebagai orang beriman berasal dari Tuhan sendiri. Justru inilah tantangan yang harus dijawab oleh kita. Kita harus menghadirkan pengharapan yang melampaui saat ini. Kita mewartakan pengharapan yang berdasarkan pada Tuhan Yesus yang menebus dosa manusia. Karena dosalah, manusia semakin terbelenggu dalam keinginan-keinginan lahiriah dan dangkal.

Harapan tidak bisa dipisahkan dari iman. Iman dan harapan menjadi semacam dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga di mana ada iman, di situ harapan muncul. Harapan meneguhkan iman dan membuat setiap keyakinan semakin menemukan tempatnya. Sedangkan iman menjadikan harapan kita bertumbuh. Kita yang saat ini hadir mengimani bahwa Yesus Kristus yang telah datang ke dunia akan membawa harapan tentang penebusan kita dari dosa.

Kita hidup dengan harapan-harapan kecil yang setiap hari kita hidupi. Misalnya, saya ingin mendapat nilai yang baik, saya dapat mengatur waktu dengan baik, saya dapat mengembangkan diri saya, saya ingin menjadi pribadi yang rendah hati, dan lain sebagainya. Pada intinya, setiap waktu kita ingin selalu memperbaiki hidup kita. Persoalannya ialah apakah kita serius untuk mendengarkan hati kita yang sedang berbicara? Dalam komunitas ini, apakah kita sudah mampu mendengarkan sesama kita? Harapan kecil membuat kita semakin berarti saat kita menjalani hidup tanpa makna, kita mencoba bangkit saat kita jatuh. Kita meyakini bahwa selalu ada jalan keluar. Harapan kecil itu tumbuh bersama dengan keyakinan diri kita bahwa kita adalah pribadi yang unik. Kita juga mengarahkan pandangan dengan harapan-harapan besar kelak. Harapan saat ini sangatlah menentukan bagaimana kita kelak akan melangkah. Sebuah langkah kecil sungguh menentukan langkah kita selanjutnya.

Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus,

Harapan kita akan Yesus Kristus haruslah senantiasa kita perlihara dalam kehidupan kita. Sebagai anggota komunitas, sudah selayaknya kita mempunyai padangan ke depan, terarah pada misi yang diberikan oleh Yesus kepada kita. kita tidak hanya hidup bersama, tetapi mengakui bahwa hidup kita dipimpin oleh Roh Kudus dan dibimbing oleh tangan Bunda Maria. Roh Kudus menjaga dan mendampingi setiap karya kita dan kita juga percaya bahwa Bunda Maria mengarahkan kita dengan kasih keibuannya.

Bacaan yang telah kita dengarkan bersama mengarahkan kita bahwa harapan kita sebagai umat Kristen selalu berpusat pada Kristus. Bersama Kristus, kita diangkat menjadi anak-anak Allah yang akan menerima warisan hidup yang kekal, hidup bersama Kristus selamanya. Pengharapan ini membutuhkan ketekunan setiap hari, entah dalam situasi yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Kita berharap dalam situasi yang terkadang tidak pasti dan di saat-saat seperti inilah iman kita dimurnikan untuk tetap berpegang teguh kepada Allah saja. Kita tentu saja mengalami kesulitan untuk terus bertahan, andaikata kita tetap mengandalkan diri sendiri. Tetapi, kekuatan kita sesungguhnya berasal dari Tuhan. Kita tidak bisa mengandalkan kelebihan kita saja, kita perlu Tuhan agar menguatkan kita dalam peziarahan hidup kita. Maka, marilah kita setiap saat mencoba hadir bersama Allah dalam doa dan pengharapan untuk menatap masa depan. Semoga.