CIAO INDONESIA

Jumat, 04 Mei 2012

Menjadi Pembina Kaum Muda


I.                   Pengantar
Kaum muda memiliki peran yang penting bagi masa depan Gereja. Mereka adalah masa depan Gereja yang kelak akan melanjutkan tongkat estafet. Di samping sebagai generasi penerus, mereka mempunyai kekayaan pribadi yang masih harus dikembangkan. Potensi yang mereka miliki tidak terhitung demi kemajuan dirinya dan orang lain. Hal ini tidak lepas dari keikutsertaan kaum dewasa yang telah memiliki pengalaman dalam bidang pendidikan kaum muda. Usaha ini tidak mudah karena kaum muda memiliki dinamika tersendiri dan hidup dalam konteks zaman yang sedang berlangsung. Namun, pendidikan dan pembinaan yang baik tentunya akan membuat kaum muda semakin menemukan jati diri yang sesungguhnya untuk membangun dan mengembangkan Gereja.
Pertanyaan yang seringkali muncul berkaitan dengan tema di atas adalah bagaimana membina kaum muda sehingga mereka dapat menjadi rasul-rasul di zaman ini? Bagaimana kriteria ideal seorang pembina yang mampu menumbuhkan semangat dalam diri kaum muda untuk maju? Tentu hal ini bukanlah perkara yang mudah. Pembinaan kaum muda telah sering menjadi agenda kegiatan yang cukup relevan di masa sekarang. Di banyak paroki, kaum muda dijadikan rekan untuk bekerja sama. Namun di tempat lain, keberadaan mereka masih kurang diperhitungkan.
Di samping itu cara pandang yang kurang tepat seringkali dialamatkan kepada kaum muda. Mereka biasanya dilihat masih belum mampu untuk memikul sebuah tanggung jawab dalam sebuah organisasi maupun dalam kegiatan gerejani. Namun, kesadaran mereka untuk memberikan perhatian akan kebutuhan Gereja harus mendapat tempat. Dengan kata lain, mereka perlu didengarkan dan malahan perlu diberi wadah untuk mengembangkan diri mereka. Bukan dengan kekerasan atau sikap ketidakpercayaan, tetapi dengan sikap persahabatan dan dalam semangat cinta kasih. Tentunya kita patut juga mencari tahu aktor di balik pembinaan kaum muda ini. Di sinilah, peran pembina sungguh diperlukan. Sebab, dari pembinaan yang kokoh dan kuatlah yang mampu membuka potensi kaum muda untuk bangkit dan bergerak.Untuk itu, kaum muda membutuhkan pembina yang mampu memberikan wawasan dan penghayatan yang baik dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat. Hal ini ditekankan dengan sangat baik dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam art. 13:
Hendaknya kaum dewasa dalam suasana persahabatan berusaha menjalin dialog dengan kaum muda, sehingga dengan mengatasi jarak umur mungkinlah kedua pihak saling mengenal, dan saling bertukar kekayaan masing-masing. Hendaknya kaum dewasa terutama dengan teladan, dan bila ada kesempatan dengan nasehat bijaksana serta bantuan yang tepat guna, mendorong kaum muda untuk merasul. Di pihak lain hendaknya kaum muda memupuk sikap hormat dan kepercayaan terhadap kaum dewasa. Dan meskipun secara alamiah mereka cenderung ke arah hal-hal baru, hendaknya mereka menghargai tradisi-tradisi sebagaimana harusnya.[1]
Kaum muda diakui sebagai kekuatan yang amat penting dalam masyarakat zaman sekarang. Situasi hidup, sikap-sikap batin serta hubungan-hubungan mereka dengan keluarga mereka sendiri telah banyak berubah.[2] Kenyataan ini membuktikan bahwa kaum muda adalah potensi yang sungguh perlu dipersiapkan melalui usaha-usaha yang serius dan bertanggung jawab oleh pelbagai pihak. Kepribadian kaum muda dapat dikatakan perlu mendapat perhatian, terutama dalam mencapai kematangan fisik, cara pandang dan lain sebagainya. Mereka masih harus melihat dan belajar untuk menemukan solusi untuk menata hidupnya dan terutama belajar mengembangkan diri demi kebutuhan Gereja.
Untuk itu, kaum muda perlu mendapat perhatian dari semua pihak, baik oleh keluarga, para petugas maupun pelayan Gereja, pendidik dan guru dalam institusi pendidikan. Perhatian tersebut dikatakan sebagai kegiatan kerasulan yang diperuntujkan demi kaum muda. Melalui peran pembina, kaum muda diajak untuk menggali potensi mereka untuk bertumbuh dan berkembang.
II.                Situasi dan Lingkup Kaum Muda
Ada banyak kesulitan untuk menentukan dengan pasti tahap perkembangan kaum muda, sebab perkembangannya (batas awal dan akhir masa muda), sebab perkembangan periode-periode tersebut lebih merupakan peralihan pengalaman serta interpretasinya daripada peralihan kronologis.[3] Kaum muda memiliki dinamikanya tersendiri. Mereka mengalami masa-masa perkembangan yang seringkali tidak dapat dimengerti oleh diri mereka sendiri. Ada dua hal yang dapat kita lihat, yakni dari faktor yang berasal dari dalam diri sendiri dan yang berasal dari luar diri sendiri. Adapun yang menjadi faktor dari dalam diri sendiri misalnya perkembangan fisik, psikologis, mental, spiritual, dan intelektual. Kaum muda harus menghadapi dinamika ini dalam perkembangan ke tahap dewasa.
Sedangkan yang berasal dari luar diri sendiri, yaitu hubungan dengan keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekitar. Hal-hal ini ikut membentuk kepribadian dan arah perkembangan menuju kedewasaan. Hubungan-hubungan di atas seringkali dipandang sebagai pembentuk karakter. Seorang pemuda yang tidak mampu bergaul dengan lingkungannya akan kesulitan dalam mengamati dan mengambil sikap kritis dengan keadaan lingkungan sekitarnya.
Dari situasi khusus kaum muda ini, hal-hal yang menonjol dapat kita lihat antara lain bahwa adanya proses pematangan diri.[4] Proses pematangan diri ini adalah suatu tahap di mana kaum muda sedang bertumbuh menuju kepribadian dewasa manusiawi, secara integral mencakup fisik, mental, emosional, rohani dan intelektual.[5] Kita bisa mengamati bahwa kompleksitas kaum muda sangatlah tampak. Sebagai pembina, seseorang harus tahu menempatkan dirinya agar bisa mengajak kaum muda bertumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik.
Kaum muda tidak bisa dilepaskan dari ikatannya dengan keluarga dan lingkungan di mana ia berada. Mereka selalu bersinggungan dan merasakan kedekatan yang akrab sambil membangun interaksi antara diri mereka dengan situasi di sekitar mereka. Ada kaum muda yang bersikap kritis dan mampu terbuka dengan nilai-nilai yang membangun, namun ada pula yang tidak mampu untuk menyaring nilai-nilai yang merusak. Hal ini mengakibatkan kaum muda tidak dapat berkembang dengan baik sesuai harapan dan cita-cita mereka.
Pengarahan diri kaum muda tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab dari kaum muda sendiri. Memang, mereka memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk menentukan masa depan mereka. Namun di lain pihak, mereka perlu mendapatkan pembinaan. Pembinaan pertama yakni berasal dari keluarga. Hal ini dikarenakan keluarga memiliki peranan penting dalam menanamkan jiwa dan semangat kerasulan yang kelak akan berguna bagi kaum muda dalam masyarakat. Selain itu, para imam sebagai pemimpin dan pelayan pastoral memiliki andil yang besar bagi kelangsungan hidup rohani kaum muda. Para imam dapat dikatakan sebagai pembimbing dan pengarah kaum muda untuk mampu menjadi agen-agen kerasulan di tengah umat dan masyarakat pada umumnya. Dan yang terakhir ialah mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Mereka inilah yang menanamkan nilai-nilai dan pendidikan yang akan membangun karakter dan pola pikir yang kelak berguna bagi masa depan kaum muda.
Pembinaan untuk kerasulan harus dimulai sejak pendidikan awal anak-anak. Tetapi secara istimewa hendaknya para remaja dan kaum muda diperkenalkan dengan kerasulan, dan diresapi dengan semangatnya. Selama hidup pembinaan itu harus disempurnakan, sejauh tugas-tugas baru yang diterima menuntutnya. Maka jelaslah bahwa mereka yang bertugas dalam pendidikan kristiani juga terikat oleh kewajiban untuk memberi pembinaan bagi kerasulan.[6]
Kaum muda juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan keluarga, imam sebagai pelayan sakramen dan pewartaan sabda serta peran pendidik/guru. Oleh merekalah, kaum muda dapat menimba nilai-nilai kehidupan yang sangat penting bagi diri mereka.

a.      K`um muda dalam Keluarga
Orang tua memiliki peran yang sangat sentral dalam membimbing dan mengarahkan anak-anak menjadi kaum muda yang matang. Prinsip yang biasanya dipakai ialah penanaman nilai-nilai yang penting untuk digunakan dalam kehidupan di masa depan. Nilai-nilai inilah yang menggerakkan kaum muda untuk mampu berinteraksi dengan rekan-rekannya yang sebaya sambil terbuka dengan perkembangan situasi saat ini. Sehingga dapat kita lihat bahwa banyak orang tua yang mengharapkan anak-anak mereka mampu mencapai kehidupan yang lebih baik daripada keadaan orang tuanya saat ini. Dalam dekrit kerasulan awam ditulis demikian:
Merupakan tugas orang tua dalam keluarga: menyiapkan hati anak-anak mereka sejak kecil untuk mengenali cinta kasih Allah terhadap semua orang, serta mengajar mereka sedikit demi sedikit, terutama dengan teladan, untuk memperhatikan keutuhan-kebutuhan jasmani maupun rohani sesama.[7]
Kaum muda mendapatkan pendidikan sejak dia masih berada dalam keluarga, artinya ketika ia berada dalam tahap anak-anak. Mereka membutuhkan dukungan, perhatian dan bimbingan dari orang tua sebagai daya pendorong untuk bertumbuh. Keluarga tidak pernah boleh dilewatkan dalam tahap mencapai kematangan psikis dan fisik. Kita dapat membandingkan kaum muda yang tumbuh di tengah retaknya hubungan dalam keluarga. Mereka akan cenderung rentan terhadap persoalan-persoalan hidup dan seringkali mencari tempat pelarian untuk menemukan kebahagiaan.
b.      Para Imam dalam Katekese dan Pelayanan
Para imam adalah para pemimpin dan pelayan umat Allah. Dalam hal ini, kaum muda juga merupakan bagian dari umat Allah yang memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam bidang rohani. Konteks kehidupan kaum muda seringkali perlu untuk dipahami secara mendalam untuk masuk ke dalam jiwa kaum muda. Hal ini penting untuk melihat bahwa kaum muda tidak boleh dilihat sebagai kumpulan orang-orang yang tidak bisa diatur, mau seenaknya sendiri, atau pun orang-orang yang kurang mampu untuk mendengarkan orang lain. Maka, imam perlu untuk mendengarkan dan mencari solusi untuk memberikan kesadaran bahwa kaum muda perlu dibekali dengan katekese dan pelayanan sabda. Hal ini digarisbawahi dengan sangat baik dalam dekrit tentang Kerasulan Awam nomor 30, bunyinya “Hendaklah para imam dalam katekese dan pelayanan sabda, dalam bimbingan rohani, dan dalam pelayanan-pelayanan pastoral lainnya memperhatikan pembinaan untuk kerasulan.”[8]
c.       Para Pendidik dan Guru
Para pendidik dan guru memiliki peran yang sangat vital bagi kaum muda karena panggilan luhur mereka. Panggilan untuk mendidik kaum muda khususnya dalam kerohanian dan keimanan dalam lingkup sekolah tidak bisa dikesampingkan. Sebab, para guru dan pendidik tidak hanya membekali diri dengan pengetahuan akademis, tetapi juga dengan kecakapan untuk mendidik kaum muda.
Begitu pula merupakan tugas mereka yang berkecimpung dalam bidang pendidikan di sekolah-sekolah, di kolese-kolese dan lembaga-lembaga katolik lainnya: memupuk semangat katolik dan kegiatan merasul di kalangan kaum muda.[9]
III.             Pembina, Pendekatan dan Metode Pembinaan[10]
a.                   Pembina
Seorang pembina harus menempatkan dirinya sebagai kawan dalam perjalanan dalam proses kedewasaan. Seorang kawan berarti ikut terlibat dan merasakan perjalanan hidup kaum muda di mana pun ia berada. Dia harus mampu untuk menjalin relasi dan kerja sama dengan kaum muda, sehingga membentuk rasa kebersamaan dan persaudaraan. Di samping itu, pembina kaum muda harus memiliki kemampuan yang lebih dalam menggerakkan kaum muda untuk mengeksplorasi diri mereka. Seorang pembina yang baik akan terlihat dan berbakat dalam menyapa dan mengenal kaum muda secara lebih dekat.
Para pembina itu menjalankan fungsinya yang khas dengan mengisi, mengarahkan dan memberi bobot pembinaan pada kegiatan-kegiatan kelompok, dan bukan mengambil alih fungsi teknis organisatoris yang menjadi tugas penggerak/pengurus kelompok sendiri.[11] Dengan demikian, para Pembina tetap memberi kelonggaran kepada kaum muda dan anggotanya untuk tetap menggerakkan organisasi dan memberi kebebasan untuk berkreasi. Pembina hanya akan mengoreksi bila itu diperlukan. Adapun yang menjadi ciri dari seorang pembina yang baik[12] adalah sebagai berikut:
1. Kepribadian: seorang pembina yang baik mampu mengenal dirinya dengan baik, yakni kecenderungan-kecenderungan yang berasal dari dirinya sendiri. Contohnya ialah mengenal kekurangan dan kelebihan dirinya sendiri, memiliki daya empati dan simpati, memiliki semangat juang dan berkeinginan untuk maju serta melihat ke masa depan dengan lebih positif.
2. Hidup Rohani: memiliki kedekatan dengan Kristus dan sabda-Nya melalui Kitab Suci, mengenal kekayaan Tradisi Liturgi Gereja dan pengetahuan tentang iman Kristiani. Hal ini penting agar kaum muda yang didampingi mampu menimba pengetahuan dan bertindak sesuai dengan imannya yang benar.
3. Hidup Intelektual: seorang pembina tidak hanya mengembangkan pengetahuan dalam keimanan, tetapi juga membangkitkan keingintahuan. Salah satu contoh nyata yang bisa ditemukan adalah keinginan untuk membaca dan menulis, serta berlinat dalam mengembangkan pengetahuan yang lain. Minat lain yang bisa ditumbuhkan ialah bagaimana mengembangkan pergaulan yang sehat di antara sesama kaum muda, mengenalkan budaya dan kesenian kepada kaum muda.  Tentu saja, ini akan membentuk karakter dan cara berpikir seorang kaum muda yang cerdas dan rendah hati.
5. Memiliki (dan dimiliki oleh) sebuah Komunitas. Seorang pembina biasanya memiliki komunitas yang tetap dan memberikan waktu kepada kaum muda.
6. Ketrampilan : ketrampilan ini biasanya berhubungan dengan cara untuk memimpin suatu pertemuan atau perkumpulan orang muda. Dalam sebuah acara, pembina dapat melakukan hal-hal demikian:
- memimpin animasi (gerak-lagu) bahkan secara spontan.
- memimpin pertemuan terbatas, misalnya 10-20 orang.
- memimpin doa bersama dan ibadat sabda ringkas.
           
b.      Pendekatan:
-pendekatan Pribadi:
Seorang pembina adalah orang yang mampu untuk melakukan pendekatan kepada masing-masing pribadi[13]. Hal ini disebabkan karena masing-masing pribadi adalah unik dan khas. Dengan melakukan pendekatan pribadi, kaum muda tidak akan merasa diajar atau dihakimi.
-pendekatan Kelompok:
Pendekatan kelompok dibedakan menjadi dua yakni:
1) Kelompok Kecil;
Dengan kelompok kecil, pembina dapat  melakukan dinamika yang lebih efektif. Dengan sebuah kelompok kecil, kelangsungan kelompok dapat lebih terjamin karena masing-masing anggota dapat saling mengenal.
2) Kelompok Besar
Kelompok besar biasanya dilaksanakan dalam kegiatan yang melibatkan jumlah anggota yang banyak. Dengan demikian, sarana dan pelaksanaan dilakukan untuk menyemangati dan meneguhkan persaudaraan dan rasa kerja sama yang erat dalam kelompok. Dapat juga dilakukan dengan menggerakkan kelompok besar dengan melalui kelompok yang lebih kecil.
c. Metode Pembinaan
            -Eksperiensial berarti mengajak kaum muda menganalisa secara kritis pengalaman-pengalaman hidup/iman untuk menemukan sendiri nilai, arti, dan makna baru yang akan menjadi bekal dan kekuatan dalam mengembangkan dirinya dan menjawab tantangan-tantangan hidup/iman di masa mendatang.[14] Pembina memberikan kemungkinan bagi kaum muda untuk menggali pengalaman, kejadian, perasaan, dan kehidupannya untuk direfleksikan. Refleksi inilah yang kelak mengantar kaum muda penemuan kepada makna yang baru. Jadi, yang ditekankan adalah proses penemuan dari pengalaman diri sendiri.
            -Dialogal
Ciri dialogal terwujud dalam relasi dan interaksi antar kaum muda maupun dengan pembina yang sedang memimpin kegiatan pembinaan.[15]Baik relasi maupun interaksi antara kaum muda dengan pembina, diharapkan terjalin penghargaan terhadap kaum muda sehingga mereka dapat bertumbuh dan berkembang tanpa merasa digurui atau digiring menurut pembina.

IV.              Langkah Pembinaan:
Pembinaan yang baik adalah pembinaan yang memperhatikan kebutuhan kaum muda, baik yang berdimensi manusiawi maupun yang berdimensi teologis karya pastoral.[16] Keduanya merupakan dua realitas yang berbeda sehingga dalam pelaksanaannya seringkali seorang pembina harus menghadapi aneka kesulitan. Maka dari itu, pembina memerluka beberapa hal untuk menyiapkan bahan demi terselenggaranya sebuah pembinaan yang baik, yakni:
a.       Perencanaan pembinaan
b.      Memilih metode
c.       Proses pembinaan: metode dan langkah pelaksanaan
d.      Posisi pembina
V.                Kesimpulan
            Para pembina kaum muda adalah sosok penting dalam menumbuhkembangkan kaum muda yang tangguh dan handal di tengah masyarakat. Mereka bagaikan kompas yang memberikan petunjuk kepada kaum muda untuk mengarahkan diri mereka. Namun di balik pembina yang baik, tidak hanya dibutuhkan seorang yang memiliki kemauan saja. Lebih dari itu, seorang pembina harus dilengkapi dengan pengalaman yang memadai, mampu untuk mengembangkan diri, memiliki cinta yang mendalam terhadap kaum muda dan memberikan teladan kebaikan.
           


[1] Bdk. Dekrit Kerasulan Awam. Art. 30., hlm. 357.
[2]Ibid., hlm 357.
[3] Bdk. Rm. Adi, CM, Lic, Teologi Pastoral II (Pastoral Kaum Muda-mudi), Malang: STFT Widya Sasana. 2010. Hlm. 2.
[4] Ibid. Hlm. 2.
[5] Ibid. Hlm. 2.
[6] Op.Cit., Dekrit tentang Kerasulan Awam art.30. 375.
[7] Ibid., Hlm, 375.
[8] Ibid. Hlm. 376.
[9] Ibid. Hlm. 376.
[10] Op.Cit., Rm. Adi, CM., Hlm. 10
[11] Bdk. Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia, Pedoman Pastoral Kaum Muda, Jakarta: KWI, 1993.
[13] Op.Cit., Komisi Kepemudaan., hlm 18.
[14] Ibid., hlm 20
[15] Ibid. hlm 20
[16] Op.Cit. Rm. Adi. CM, hlm. 10.

Selasa, 20 Maret 2012

Manusia Sebagai Subyek Kerja

(Refleksi Etis-Teologis Atas Ensiklik Laborem Exercens 6)

Oleh: Albertus Arif

I. Pendahuluan

Kerja memiliki hubungan yang erat dengan keberadaan manusia. Paus Yohanes Paulus II menyoroti makna kerja ini dalam ensikliknya yang berjudul Laborem Exercens (untuk selanjutnya disingkat LE). Ensiklik dari Paus Yohanes Paulus II ini secara lugas membahas tentang posisi manusia dan makna kerja bagi manusia. Dalam pandangan penulis, Yohanes Paulus II memberikan gambaran yang cermat seputar manusia dan kerja. LE memberikan gagasan yang komprehensif mengenai manusia dalam hubungannya dengan kerja dalam corpus ajaran sosial Gereja.[1] Dengan bekerja, manusia menampilkan citra yang menyerupai Allah sendiri, tanggung jawab manusia untuk terus bekerja dalam penciptaan yang terus berlangsung serta penciptaan kembali baik diri manusia maupun dunia (bdk. Kej 1:26).

Penulis mencoba melihat kaitan antara kerja dan martabat manusia yang akan dijelaskan dalam terang LE. Martabat inilah yang hendak diangkat oleh penulis. Mengapa martabat manusia yang disorot? Hal ini dikarenakan makna dan tujuan hidup manusia selalu dalam hubungannya dengan kerja: kerja untuk manusia dan bukan manusia untuk kerja; bahkan, kerja lebih utama dari modal.[2] Hal ini dikarenakan kerja sudah direduksi pada tataran hasil produksi yang harus dikerjakan. Manusia tidak lagi dihargai sebagai manusia, melainkan sebagai bagian dari sebuah komoditas. Keberadaan manusia dalam dunia kerja telah direduksi. Konsekuensinya ialah kerja pada saat sekarang mulai mengalienasi manusia dari hasil kerjanya. Perubahan ini begitu besar dalam dunia saat ini. Dengan demikian, martabat manusia sudah tidak dihargai lagi.

Dalam paper ini, penulis hendak mengangkat pertama-tama dari ensiklik LE, yakni konteks dan garis besarnya, arti dan makna kerja, kerja dalam kaitannya dengan ensiklik LE 6, relevansi dan penutup.

II. Menggali Nilai Kerja dalam Hubungannya dengan LE

2.1 Konteks LE

LE ditulis sebagai suatu tanggapan atas perubahan sosial yang mendalam sejak revolusi industri baik di Eropa maupun Amerika Serikat yang membawa dampak pada martabat serta hak-hak para pekerja.[3] Paus Yohanes Paulus II melihat adanya persoalan-persoalan baru yang muncul sejak adanya revolusi industri ini bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya, secara khusus kaum buruh. Baginya, kerja dan persoalan baru tersebut membutuhkan penataan dan penyesuaian agar sesuai dengan struktur dan distribusi kerja. Jika tidak demikian, maka timbul pelbagai pergolakan di antara buruh dan majikan yang akan mengakibatkan tidak adanya kesejahteraan antar keduanya.

Ia menjelaskan poin penting tentang perkembangan teknologi, penggalian sumber daya alam, semakin berkembangnya kesadaran akan ekologi yang semakin merosot, serta pengangguran yang diperparah oleh perusahan multinasional yang memindahkan lokasi kerja mereka ke negara berkembang.[4] Pemindahan ini lebih disebabkan karena upah buruh yang rendah serta gerakan buruh yang seringkali dibekap oleh pemerintah. Tentu saja, keuntungan profit besarlah yang menjadi motivasi dari perusahaan-perusahaan multinasional ini. Di sinilah LE hadir untuk mengangkat isu posisi manusia dalam kerja sebagai fenomena global, namun tetap relevan pada level nasional, internasional dan transnasional.[5]

Di samping adanya fenomena global, LE muncul pada situasi di mana kerja mengalami krisis makna atau nilai, sebagai bagian dari krisis nilai yang menggejala pada masyarakat kontemporer.[6] Masyarakat hidup dalam peradaban materialistik yang lebih mengutamakan hidup konsumtif tanpa melihat akibat dari pemenuhan kebutuhan yang berkelebihan. Peradaban ini melihat bahwa peluang untuk memperoleh kenikmatan dan kesejatian hidup adalah memiliki materi sebanyak-banyaknya. Untuk mendapatkan semua itu, mereka menjadi penikmat dan pemakai barang-barang yang dihasilkan oleh produsen-produsen dan produk-produk ternama. Di samping itu, para produsen terus mengeluarkan produk-produk yang dinilai mampu memenuhi kesenangan dibandingkan dengan kebutuhan. Akibatnya, nilai dan makna kerja terus mengalami kemerosotan akibat para pemilik perusahaan meminta para pekerja untuk menambah jam kerja karena harus memenuhi kebutuhan pasar. Setiap pekerja diwajibkan untuk dapat memenuhi permintaan pasar tanpa memperhatikan kondisi para pekerja, sehingga para pekerja yang tidak produktif mengalami pemecatan. LE sebagai dokumen yang lahir dalam konteks yang demikian tentu saja berusaha menanggapi ketidakadilan yang terjadi ini.

Hal lain yang dipandang memiliki kaitan dengan konteks LE adalah situasi ketegangan antara gerakan buruh Solidaritas dan pemerintah Komunis Polandia.[7] Seperti di kebanyakan negara, gerakan ini ingin menunjukkan solidaritasnya kepada kaum buruh yang merasa ditindas oleh pemilik perusahaan dan penguasa yang adalah pemerintah Komunis. Namun, pemerintah Komunis merasa terancam oleh kehadiran gerakan ini dan mereka ingin memberangus gerakan ini. Di saat itulah Paus Yohanes Paulus II berusaha mencari jalan untuk mencari perdamaian antar keduanya dan menyampaikan pesan kepada para pemimpin Gereja untuk mendukung tuntutan yang disampaikan oleh gerakan buruh Solidaritas. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa banyak unsur analisa masyarakat dan kebijaksanaan sosial yang diambilnya dari alam pikiran Sosialis.[8] Namun, tidak semua padangan Sosialis dapat dimasukkan dalam ensikliknya ini, karena ada hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Kristiani. Sistem Kapitalisme juga dipandangnya tidak memberikan kontribusi yang baik untuk menyelesaikan masalah sosial (dan pada kunjungannya ke Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat Yohanes Paulus II menyuarakan dengan jelas kritik terhadap Kapitalisme).[9] Dari perjumpaan dengan situasi dan kondisi seperti itulah, Paus Yohanes Paulus menuliskan dokumennya.

LE adalah ensiklik Yohanes Paulus II yang ketiga, sesudah Redemptor Hominis (4 Maret 1979) dan Dives in Misericordia (30 November 1980).[10] Ensiklik ini dihadirkan sebagai pengenangan sembilan puluh tahun Rerum Novarum (1891) dan seharusnya terbit – sesuai dengan tanggal terbitnya RN – pada tanggal 15 Mei. Namun, penembakan Paus Yohanes Paulus II oleh Ali Agca menyebabkan LE ini terbit empat bulan terlambat, pada tanggal 15 September 1981.[11]

2.2. Garis Besar LE

RN (1981) yang diperingati LE berbicara tentang kaum buruh, sedangkan Paus Yohanes Paulus II dalam LE menyoroti tentang kerja.[12] Namun, ada yang menarik untuk disimak bahwa LE sendiri tidak mengutip dari RN, melainkan dari GS keluaran Konsili Vatikan II. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan GS memberikan suatu antropologi teologik, yaitu suatu refleksi iman atas manusia yang berkarya dalam dunia sebagai makhluk sosial; dengan demikian Gereja menjalankan tugas pokoknya – yaitu mewartakan kabar gembira ke dalam dunia yang otonom.[13] Demikian pula tema-tema penting LE berupaya untuk mewartakan nilai dan spiritualitas kerja manusia di dunia dewasa ini. Tujuannya jelas, yakni ingin menolong semua orang untuk semakin dekat dengan Sang Pencipta dan ikut bekerja dalam rencana keselamatan-Nya.

LE dibagi menjadi lima bagian yang merujuk pada pengertian dan makna kerja. Ada pun pembagiannya adalah sebagai berikut: Pendahuluan (1-3), Kerja dan Manusia (4-10), Konflik Antara Kerja dan Modal Pada Tahap Sejarah Masa Kini (11-15), Hak-Hak Kaum Buruh (16-23), dan Unsur-Unsur Spiritualitas Kerja (24-27).

LE melihat makna kerja sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manusia yang bermartabat. Kerja ditempatkan dalam di atas landasan teologis mengenai keluhuran manusia: citra Allah (Bdk. Kej 1:26). Kitab Kejadian sebagai sumber acuan LE 6 menjadi gambaran bahwa Allah mengajak manusia sebagai rekan kerjaNya. Manusia adalah “citra Allah”. Dia adalah seorang pribadi atau subyek kerja.[14] Sebagai subyek kerja, manusia adalah pribadi yang sadar dan bebas atau dengan kata lain dialah yang mengambil keputusan tentang dirinya sendiri. Konsep ini memiliki kosenkuensi yang amat penting dalam perkembangan selanjutnya, sebab dari sinilah berkembang ajaran tentang martabat manusia. Inilah ajaran yang hendak ditampilkan dalam ensiklik ini.

Kerja manusia memiliki dua makna, yakni makna obyektif dan makna subyektif. Arti obyektif dari kerja dipahami sebagai jumlah aneka kegiatan, sumber daya,sarana dan teknologi yag digunakan oleh manusia untuk menghasilkan barang-barang, untuk menaklukan bumi dan berkuasa atasnya, menyitir kata-kata Kitab Kejadian.[15] Sedangkan arti subyektif kerja dipahami sebagai kegiatan pribadi manusia sebagai makhluk yang dinamis yang mampu melaksanakan aneka ragam tindakan yang merupakan bagian dari proses kerja dan yang bersepadanan dengan panggilan pribadinya.[16] Paus Yohanes Paulus memberikan judul tentang kerja dalam arti subyektif yakni manusia sebagai pelaku kerja. Biarpun kerja dalam arti obyektif untuk mencari nafkah, namun nilai subyektif kerja tidak bisa diabaikan. Di dalamnya terkandung arti bahwa manusia mewujudkan dirinya dan dengan itu semakin menjadi manusiawi.

LE 6 mengatakan bahwa kenyataan bahwa Dia yang – sementara tetap Allah sendiri, - menyerupai kita dalam segalanya (bdk. Ibr 2:17; Flp 2:5-8), memperuntukkan sebagian terbesar hidup-Nya di dunia ini bagi kerja tangan pada bangku kayu.[17] Karya Tuhan Yesus inilah yang memperlihatkan bahwa makna kerja ditentukan lewat pekerjaan yang sederhana. Inilah situasi yang dikatakan sebagai “Injil Kerja”, yakni pernyataan bahwa nilai kerja manusiawi bukan ditentukan dari corak kerja yang dijalankan melainkan kenyataan bahwa pelakunya adalah pribadi manusia.[18] LE 6 juga menampilkan bahwa setiap macam kerja terutama dinilai berpedoman pada martabat pelaku kerja, yakni pribadi, individu yang menjalankannya.[19] Dengan mengatakan demikian, ensiklik ini hendak memperlihatkan bahwa makna subyektif manusia menduduki peran yang pertama dibandingkan dengan makna obyektifnya. Setiap manusia bebas untuk bekerja apa pun juga dengan nilai obyektif yang besar maupun kecil. Sebab, manusialah yang memberi makna setiap pekerjaan yang dilakukannya. Dan akhirnya, LE 6 menegaskan bahwa manusia adalah tujuan terakhir dari setiap kerja.[20] Kerja tidak boleh berhenti pada dirinya sendiri (in se), melainkan kerja pertama-tama adalah “demi manusia” dan bukan “manusia demi kerja”.

III. Martabat Kerja Manusia dalam Terang LE 6

3.1 Arti dan Makna Kerja

Pertanyaan mendasar dan penting untuk ditanggapi ialah mengapa manusia bekerja? Kerja dimaksudkan untuk hidup, mengusahakan nafkah; mendorong kemajuan dan perkembangan kebudayaan serta perikemanusiaan; memajukan atau mengembangan diri manusia itu sendiri, aktualisasi diri serta bakat-bakatnya.[21] Dalam hal ini, kerja yang dimaksudkan ialah kerja dengan jerih payah (labor) dan bukan karya luhur (opus).

Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat menjelaskan bahwa kerja (work) dipahami sebagai tindakan manusia yang menghasilkan produk tertentu atau perubahan kualitatif. Kerja tidak harus menghasilkan produk-produk material (bendawi).[22] Lorens juga menambahkan bahwa manusia dikatakan bekerja jika ia menggunakan daya rohani dan jasmaninya, artinya dengan seluruh kemanusiaannya.

Kerja menentukan martabat manusia dalam alam ciptaan Allah ini. LE menggambarkan bahwa dalam Perjanjian Lama, Allah ditampilkan sebagai Pencipta yang mahakuasa (bdk. Kej 2:2; Ayb 38-41; Mzm 104; Mzm 147) yang membentuk manusia seturut citra-Nya dan mengundang dia untuk mengolah tanah serta serta mengusahakan dan memelihara taman Eden di mana Allah telah menempatkannya.[23] Kitab Kejadian menerangkan bagaimana perintah untuk mengolah tanah diberikan kepada manusia. Perintah inilah yang dipahami sebagai partisipasi manusia dalam melestarikan hasil kerja Allah. Manusia mendapat perintah dari Allah untuk memelihara tanah yang dapat diartikan sebagai perintah untuk bekerja (bdk. Kej 2:5-6).

Kerja memiliki corak yang sangat beraneka ragam. Dalam hal ini, manusia memiliki kapasitas untuk melakukan apa saja untuk menghasilkan produk atau perubahan kualitatif. Untuk memudahkan manusia dalam bekerja, manusia menggunakan mesin atau tenaga binatang. Manusia memang menggunakan mesin dan binatang untuk membantu mereka. Binatang-binatang dan mesin-mesin bekerja, tetapi kerja mereka sejauh manusia mengarahkan mereka dan menggunakan kegiatan mereka. Kerja dipahami sebagai ciri khas yang dimiliki oleh manusia. Ia merupakan privilese manusia.[24] LE juga menekankan bahwa kerja termasuk unsur hakiki manusia dan merupakan kekhasan manusia bahwa ia dapat mengolah dunia dan membangun kondisi hidupnya sendiri.[25] Dengan bekerja, manusia mewujudkan kemanusiaan dirinya. Allah telah menyerahkan segala yang telah diciptakan-Nya kepada kekuasaan manusia. Dengan melakukan demikian, Allah hendak menyatakan bahwa manusia turut ambil bagian dalam karya-Nya di dunia ini.

Pemilahan ini penting baik untuk memahami apa yang menjadi landasan paling tinggi nilai dan martabat kerja, maupun yang berkenaan dengan berbagai kesukaran dalam menata sistem ekonomi dan sistem sosial yang menghormati hak asasi manusia.[26]

3.2 Martabat Manusia dengan Bekerja

a. Manusia adalah Subyek Kerja

Dalam LE 6 dikatakan, “manusia harus menaklukan bumi dan menguasainya, karena sebagai ‘citra Allah’ ia seorang pribadi, artinya: subyek yang mampu bertindak secara berencana dan rasional, mampu mengambil keputusan tentang dirinya, dan membawa dorongan ke arah realisasi diri.”[27] Melihat teks di atas, kita dapat memahami bahwa manusia sebagai subyek merupakan ciptaan Allah yang mampu merencanakan, mampu berpikir rasional, otonom untuk mengambil keputusan dan senantiasa ingin untuk merealisasikan dirinya. Manusia harus dihargai karena mencerminkan Sang Pencipta.

Allah sendiri menegaskan dalam Kitab Kejadian bahwa manusia dipanggil untuk bekerja. Panggilan ini terkandung dalam perintah Allah untuk menaklukan bumi dan menguasainya. “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu…” (Bdk. Kej 1:28). Dalam teks ini, bumi dalam arti tertentu perlu untuk ditaklukan dan manusialah yang menerima perintah tersebut dari Allah. Maka, perintah ini perlu dihubungkan dengan manusia yang adalah seorang pribadi. Perintah ini tidak diberikan kepada ciptaan Allah yang lain, tetapi hanya kepada manusia. Berdasarkan teks di atas, kita mengetahui dengan baik bahwa manusia dipandang sebagai citra Allah. Dengan citra Allah, manusia memiliki kebebasan untuk menanggapi dengan keseluruhan dirinya. Tanggapan ini juga menunjukkan bahwa manusia mampu merealisasikan dirinya untuk bekerja sama dengan Sang Pencipta, yaitu Allah sendiri.

Manusia mesti bekerja, baik karena Sang Pencipta telah memerintahkannya maupun dalam rangka menanggapi kebutuhan untuk mempertahankan serta mengembangkan kemanusiaannya sendiri.[28] Inilah kewajiban manusia yang terdalam dalam rangka memenuhi tugasnya.Yesus sendiri sebagai Guru dan inspirator bagi Ajaran Sosial Gereja memberikan teladan bagaimana ia turut bekerja dalam hidup-Nya sebagai manusia. Dia yang adalah Allah memperuntukkan sebagian terbesar hidup-Nya di dunia ini bagi kerja tangan pada bangku tukang kayu.[29] Dengan bekerja sebagai tukang kayu, Dia menunjukkan bahwa pekerjaan yang kiranya dipandang sederhana pun merupakan partisipasi dalam kerja yang dilakukan oleh Allah.

Rasul Paulus di tempat lain ikut menegaskan bahwa jika seseorang tidak mau bekerja, ia tidak boleh makan (Bdk. 2 Tes 3:10). Apa yang menjadi perhatian Rasul Paulus adalah manusia memiliki potensi yang harus dimaksimalkan dengan baik. Potensi yang ada harus dikembangkan dan diwujudnyatakan dalam hasil yang nyata. Sebagai orang Kristiani yang sejati, setiap orang harus ikut “menggarami dan menerangi dunia” lewat tindakan dan perkataannya. Dan semua itu terwujud antara lain dalam kerja. Namun, manusia tidak boleh melupakan bahwa dirinya bukanlah pemilik, melainkan orang-orang kepada siapa, mereka dipanggil untuk memantulkan di dalam cara kerja mereka sendiri gambar dari Dia yang di dalam keserupaan dengan-Nya mereka telah diciptakan. LE 4 menambahkan, “walaupun melalui kerjanya manusia makin menguasai bumi, dan melalui kerjanya pula ia memantapkan kedaulatannya atas alam yang kelihatan, namun bagaimana pun juga dalam setiap hal dan pada setiap tahap proses itu ia tetap masih bergerak dalam lingkup penataan asli oleh Sang Pencipta. Dan penataan itu pun secara niscaya dan tak terlepaskan berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia diciptakan, sebagai laki-laki dan perempuan, ‘menurut gambar Allah.”[30]

Kita bisa melihat bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, misalnya mencuci, memasak, menulis, mencangkul dan lain-lain tetap merupakan tindakan ambil bagian dalam karya Allah. Hal ini dikarenakan bahwa yang mengerjakan adalah seorang pribadi manusia. Tidak menjadi soal apakah pekerjaan itu ringan ataupun berat, maupun kompleks atau sederhana, sebab setiap pekerjaan adalah bentuk pelayanan kepada sesama dan kepada Allah sendiri. Dengan melakukan tindakan demikian, manusia memberikan kesaksian bahwa kerja memiliki nilai-nilai yang luhur terutama dalam kerja Allah. Selain itu, kerja manusia selalu merupakan kaitan dengan kerja bagi dan dengan sesama. Paus Yohanes Paulus II sendiri menyatakan dalam Ensiklik Centesimus Annus bahwa “lebih dari kapanpun, bekerja berarti bekerja dengan sesama dan bekerja untuk sesama”.[31] Jadi, dapat dimengerti bahwa kerja juga memiliki sebuah matra sosial yang intrinsik. Setiap orang mau tidak mau bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Baik secara langsung maupun tidak langsung, ia juga memenuhi kebutuhan orang lain juga. Sebab, buah-buah kerja memberi kesempatan bagi pertukaran, relasi dan perjumpaan antar sesama manusia.

b. Manusia sebagai Tujuan Kerja

LE 6 menegaskan bahwa dasar utama nilai kerja adalah manusia sendiri. Dampaknya ialah bahwa dalam bidang etika sama sekali tidak dibenarkan adanya pemaksaan terhadap manusia. Manusia tetap dipandang memiliki kedaulatan atas dirinya. Jadi ungkapan bahwa manusia untuk kerja sama sekali tidak benar. Kerja pertama-tama adalah untuk manusia. Sebab, hal ini disinggung dalam LE 6 bahwa di masa lampau kerja dibagi ke dalam golongan kelas-kelas dan dibeda-bedakan. Kerja yang menuntut penggunaan fisik, pekerjaan tangan yang kasar dianggap tidak pantas bagi manusia yang bebas. Pekerjaan yang demikian sangat tepat untuk dikerjakan oleh budak. Di zaman sekarang, orang mulai memahami bahwa tindakan demikian tidaklah tepat. Semua pekerjaan tentu memiliki nilai etis bagi manusia. Orang juga melihat bahwa manusia tidak boleh direndahkan martabatnya menjadi seorang budak.

Manusia juga dipandang sebagai makhluk pekerja (homo faber). Dengan mengatakan demikian, kita diajak untuk melihat bahwa kerja selalu dikaitkan dengan manusia karena manusialah yang dipandang memiliki potensi dalam dirinya. Dengan bekerja, manusia mengembangkan potensi yang dimilikinya. Tanpa bekerja, manusia kehilangan identitas dirinya. Hubungan ini mempengaruhi bagaimana manusia mampu merealisasikan dirinya. Mengapa demikian? Karena kerja manusia ikut membentuk kebudayaan yang hingga saat ini terus berkembang. Tanpa kerja, kebudayaan manusia tidak pernah ada.

Kunci utama untuk memahami refleksi teologis Paus Yohanes Paulus II adalah gagasan Kitab Kejadian tentang manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dengan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, manusia diberi mandat menguasai alam, tetapi tidak dalam arti eksploitasi tetapi berpartisipasi dalam Allah yang terus menguasai alam raya.[32] Maka, Yohanes Paulus sungguh menekankan bahwa manusia tidak boleh disingkirkan dalam pembangunan dan pengembangan masyarakat dengan dalih apapun. Manusia harus ditempatkan sebagai rekan yang dipandang memiliki hubungan dengan Allah dan harus dihormati martabat dan harkatnya.

Pada saat ini manusia mengalami degradasi dalam kerja. Degradasi ini dipahami sebagai akibat dari adanya eksploitasi dalam dunia kerja atas manusia.[33] Bentuk yang nyata adalah manusia dijadikan sebagai sarana atau alat yang berguna bagi produksi. Hal ini diakibatkan karena manusia sudah tidak mampu melihat nilai kerja sebagai tujuan yang membangun manusia. Kerja dilihat sebagai aktivitas yang mengasingkan manusia dari kehidupannya sendiri. Inilah dilema dalam kerja saat ini. Untuk membebaskan dirinya, manusia tidak mampu lagi melihat bahwa dirinya adalah pribadi yang otonom terhadap dirinya sendiri.

IV. Relevansi

Dewasa ini, banyak orang memaknai kerja sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi hidup. Memang pandangan ini sangat positif, namun ada pula beberapa orang yang kurang mampu untuk menempatkan dirinya sebagai pribadi atau rekan kerja Allah. Sehingga, penjelasan di atas sungguh memberikan nilai-nilai yang berguna untuk orang-orang di zaman ini.

Pertama: Manusia harus dipandang sebagai citra Allah. Dengan merujuk pada citra Allah, manusia dipandang sebagai rekan kerja Allah. Manusia tidak boleh direndahkan atau dipandang sebelah mata, sehingga keberadaannya harus diakui. Hal ini penting untuk disadari dengan baik karena saat ini ada banyak orang yang menganggap pekerjaan berdasarkan uang yang dihasilkan atau sebatas materinya. Orang disamakan dengan pekerjaannya, sehingga orang yang berpangkat tinggi lebih dihargai daripada mereka yang bekerja kasar dengan gaji yang kurang memadai. Atau mereka yang bekerja di luar rumah dan mampu menghasilkan uang lebih dihargai dibandingkan dengan pekerjaan untuk mengurus rumah tangga.

Tuhan Yesus sendiri menegaskan dalam kesaksian hidup-Nya bahwa Dia bekerja sebagai tukang kayu. Pekerjaan ini dipandang penting karena bukan pekerjaannya yang dilihat tetapi Yesuslah yang memberi makna pada pekerjaannya. Manusia yang sungguh-sungguh bekerja dengan hati akan menghasilkan makna yang bagi dirinya, karena dia memberikan keseluruhan dirinya untuk bekerja. Tetapi, mereka yang bekerja tidak didasari dengan hati maka dia tidak memberi makna kepada hasil kerjanya. Dengan kata lain, manusia sendirilah yang memberi makna.

Dengan mengatakan bahwa manusia adalah citra Allah, LE menerangkan bahwa manusia bukanlah pemilik dari bumi ini, tetapi dipanggil untuk merawat dan mengolahnya. Mereka dipanggil untuk memantulkan cara kerja Allah dari semula. LE 4 menerangkan, “Walaupun melalui kerjanya manusia makin menguasai bumi, dan melalui kerjanya pula ia memantapkan kedaulatannya atas alam yang kelihatan, namun bagaimanapun juga dalam setiap hal dan pada setiap proses itu ia tetap masih bergerak dalam lingkup penataan asli oleh Sang Pencipta. Dan penataan itupun secara niscaya dan tak terlepaskan berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan menurut gambar Allah”.

Kedua: Manusia hendaknya menjadi tujuan dari kerja. Saat ini, orang cenderung memisahkan tujuan kerja yang hakiki dengan ingin memajukan produksi sehingga membuat orang kehilangan makna kerja. Orang dipaksa untuk bekerja melewati jam kerja yang telah ditetapkan demi memenuhi kebutuhan pasar. Orang mau tidak mau harus mengikuti tuntutan karena takut kehilangan pekerjaan. Atau melihat suatu pekerjaan sebagai alasan untuk membuat jurang pemisah status sosial antara satu dengan yang lain. Hal ini mengakibatkan kerja tidak lagi dimaknai sebagai realisasi manusia yang bermartabat. Manusia modern kebanyakan sudah diperbudak oleh pekerjaannya sendiri. Maka, LE 6 ini sangat diperlukan untuk menempatkan kembali posisi manusia dalam kerja. LE 6 menekankan bahwa selalu manusialah yang merupakan tujuan kerja, entah kerja mana pun yang dijalankannya – juga kalau tatanan nilai pada umumnya menganggap sebagai sekedar ‘pengabdian’ belaka, sebagai kerja yang sangat monoton, bahkan kerja yang paling mengasingkan.[34] Dapat disimpulkan bahwa kerja harus ditujukan pada manusia sebagai matra subyektifnya.

V. Kesimpulan

Melihat keseluruhan isi dan pembahasan ensiklik LE 6 ini, penulis melihat bahwa manusia mendapat posisi penting dan tidak tergantikan. Manusia sebagai subyek kerja adalah citra Allah yang ikut serta mengemban kerja Allah. Dengan bekerja, manusia semakin merealisasikan dirinya dan memuliakan Allah. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia seringkali kehilangan identitasnya karena tenggelam dalam kerja setiap hari. Manusia diperbudak dengan menjadi hamba kerja, baik oleh keadaan dirinya maupun paksaan orang lain. Oleh sebab itu, Paus Yohanes Paulus II menghimbau agar setiap orang melihat kembali dirinya dalam ranah kerja. Hal yang harus dipahami adalah bahwa kerja itu untuk manusia dan bukan manusia untuk kerja.

LE 6 menekankan bahwa dimensi subyektif kerja haruslah ditempatkan dalam posisi yang pertama, lantas setelah itu dimensi obyektif. Dengan meletakkan poin subyektif, hal yang ingin ditegaskan bahwa manusia adalah subyek yang otonom dan bebas. Dia adalah pribadi yang memiliki harkat dan martabat yang harus dihargai, apapun yang menjadi pekerjaannya. Dengan demikian, manusia mampu menjadi saksi “Injil Kerja” yang dibawa oleh Yesus Kristus kepada semua orang.

DAFTAR PUSTAKA

Aman, Peter C. OFM. Mengenal Ajaran Sosial Gereja: Laborem Exercens Yohanes Paulus II, dalam Gita Sang Surya, Vol. 6, No.4, Juli-Agustus 2011.

_______________________, Vol. 6, No.5, September-Oktober 2011.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2005.

*

Kieser, Bernard. Solidaritas: 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius. 1992.

Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian. Kompendium Ajaran Sosial Gereja. Terj. Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung. Maumere: Penerbit Ledalero. 1999.

Paus Yohanes Paulus II. Centesimus Annus, dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1999.

___________________. Laborem Exercens, dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1999.





[1] Bdk. Peter C. Aman, OFM, Mengenal Ajaran Sosial Gereja: Laborem Exercens Yohanes Paulus II, dalam Gita Sang Surya, Vol. 6, No.4, Juli-Agustus 2011, hlm. 24.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Bdk. Bernard Kieser, Solidaritas: 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 74.

[9] Ibid.

[10]Ibid.

[11] Ibid, hlm. 152.

[12] Peter C. Aman, OFM, Mengenal Ajaran Sosial Gereja: Laborem Exercens Yohanes Paulus II, dalam Gita Sang Surya, Vol. 6, No.5, September-Oktober 2011, hlm. 26.

[13] Bdk. Bernard Kieser, Op.Cit, Hlm. 153.

[14] Paus Yohanes Paulus II, Laborem Exercens (Dengan Bekerja), dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus (terj. R. Hardawiryana), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999, hlm. 667. Sebutan Laborem Exercens untuk kutipan selanjutnya disingkat LE.

[15] Bdk. Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian. Kompendium Ajaran Sosial Gereja. Terj. Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung. Maumere: Penerbit Ledalero, 1999, hlm 188. Pernyataan ini terdapat dalam nomor 270. Selanjutnya disingkat Kompendium ASG disusul dengan nomor yang dikutip.

[16] Ibid.

[17] LE 6

[18] LE 6

[19] LE 6

[20] LE 6

[21] Peter C. Aman, OFM, Op.Cit. Hlm. 26

[22] Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005, hlm. 450.

[23]Kompendium ASG 255.

[24] Bdk. Lorens Bagus, Op.Cit, hlm. 451

[25] Ibid.

[26] Kompendium ASG 271.

[27] LE 6

[28] Kompendium ASG 274.

[29] LE 6

[30] LE 4

[31] CA 31

[32] LE 4

[33] Peter C. Aman, OFM, Op.Cit. Hlm. 24.

[34] LE 6