CIAO INDONESIA

Jumat, 04 Mei 2012

Menjadi Pembina Kaum Muda


I.                   Pengantar
Kaum muda memiliki peran yang penting bagi masa depan Gereja. Mereka adalah masa depan Gereja yang kelak akan melanjutkan tongkat estafet. Di samping sebagai generasi penerus, mereka mempunyai kekayaan pribadi yang masih harus dikembangkan. Potensi yang mereka miliki tidak terhitung demi kemajuan dirinya dan orang lain. Hal ini tidak lepas dari keikutsertaan kaum dewasa yang telah memiliki pengalaman dalam bidang pendidikan kaum muda. Usaha ini tidak mudah karena kaum muda memiliki dinamika tersendiri dan hidup dalam konteks zaman yang sedang berlangsung. Namun, pendidikan dan pembinaan yang baik tentunya akan membuat kaum muda semakin menemukan jati diri yang sesungguhnya untuk membangun dan mengembangkan Gereja.
Pertanyaan yang seringkali muncul berkaitan dengan tema di atas adalah bagaimana membina kaum muda sehingga mereka dapat menjadi rasul-rasul di zaman ini? Bagaimana kriteria ideal seorang pembina yang mampu menumbuhkan semangat dalam diri kaum muda untuk maju? Tentu hal ini bukanlah perkara yang mudah. Pembinaan kaum muda telah sering menjadi agenda kegiatan yang cukup relevan di masa sekarang. Di banyak paroki, kaum muda dijadikan rekan untuk bekerja sama. Namun di tempat lain, keberadaan mereka masih kurang diperhitungkan.
Di samping itu cara pandang yang kurang tepat seringkali dialamatkan kepada kaum muda. Mereka biasanya dilihat masih belum mampu untuk memikul sebuah tanggung jawab dalam sebuah organisasi maupun dalam kegiatan gerejani. Namun, kesadaran mereka untuk memberikan perhatian akan kebutuhan Gereja harus mendapat tempat. Dengan kata lain, mereka perlu didengarkan dan malahan perlu diberi wadah untuk mengembangkan diri mereka. Bukan dengan kekerasan atau sikap ketidakpercayaan, tetapi dengan sikap persahabatan dan dalam semangat cinta kasih. Tentunya kita patut juga mencari tahu aktor di balik pembinaan kaum muda ini. Di sinilah, peran pembina sungguh diperlukan. Sebab, dari pembinaan yang kokoh dan kuatlah yang mampu membuka potensi kaum muda untuk bangkit dan bergerak.Untuk itu, kaum muda membutuhkan pembina yang mampu memberikan wawasan dan penghayatan yang baik dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat. Hal ini ditekankan dengan sangat baik dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam art. 13:
Hendaknya kaum dewasa dalam suasana persahabatan berusaha menjalin dialog dengan kaum muda, sehingga dengan mengatasi jarak umur mungkinlah kedua pihak saling mengenal, dan saling bertukar kekayaan masing-masing. Hendaknya kaum dewasa terutama dengan teladan, dan bila ada kesempatan dengan nasehat bijaksana serta bantuan yang tepat guna, mendorong kaum muda untuk merasul. Di pihak lain hendaknya kaum muda memupuk sikap hormat dan kepercayaan terhadap kaum dewasa. Dan meskipun secara alamiah mereka cenderung ke arah hal-hal baru, hendaknya mereka menghargai tradisi-tradisi sebagaimana harusnya.[1]
Kaum muda diakui sebagai kekuatan yang amat penting dalam masyarakat zaman sekarang. Situasi hidup, sikap-sikap batin serta hubungan-hubungan mereka dengan keluarga mereka sendiri telah banyak berubah.[2] Kenyataan ini membuktikan bahwa kaum muda adalah potensi yang sungguh perlu dipersiapkan melalui usaha-usaha yang serius dan bertanggung jawab oleh pelbagai pihak. Kepribadian kaum muda dapat dikatakan perlu mendapat perhatian, terutama dalam mencapai kematangan fisik, cara pandang dan lain sebagainya. Mereka masih harus melihat dan belajar untuk menemukan solusi untuk menata hidupnya dan terutama belajar mengembangkan diri demi kebutuhan Gereja.
Untuk itu, kaum muda perlu mendapat perhatian dari semua pihak, baik oleh keluarga, para petugas maupun pelayan Gereja, pendidik dan guru dalam institusi pendidikan. Perhatian tersebut dikatakan sebagai kegiatan kerasulan yang diperuntujkan demi kaum muda. Melalui peran pembina, kaum muda diajak untuk menggali potensi mereka untuk bertumbuh dan berkembang.
II.                Situasi dan Lingkup Kaum Muda
Ada banyak kesulitan untuk menentukan dengan pasti tahap perkembangan kaum muda, sebab perkembangannya (batas awal dan akhir masa muda), sebab perkembangan periode-periode tersebut lebih merupakan peralihan pengalaman serta interpretasinya daripada peralihan kronologis.[3] Kaum muda memiliki dinamikanya tersendiri. Mereka mengalami masa-masa perkembangan yang seringkali tidak dapat dimengerti oleh diri mereka sendiri. Ada dua hal yang dapat kita lihat, yakni dari faktor yang berasal dari dalam diri sendiri dan yang berasal dari luar diri sendiri. Adapun yang menjadi faktor dari dalam diri sendiri misalnya perkembangan fisik, psikologis, mental, spiritual, dan intelektual. Kaum muda harus menghadapi dinamika ini dalam perkembangan ke tahap dewasa.
Sedangkan yang berasal dari luar diri sendiri, yaitu hubungan dengan keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekitar. Hal-hal ini ikut membentuk kepribadian dan arah perkembangan menuju kedewasaan. Hubungan-hubungan di atas seringkali dipandang sebagai pembentuk karakter. Seorang pemuda yang tidak mampu bergaul dengan lingkungannya akan kesulitan dalam mengamati dan mengambil sikap kritis dengan keadaan lingkungan sekitarnya.
Dari situasi khusus kaum muda ini, hal-hal yang menonjol dapat kita lihat antara lain bahwa adanya proses pematangan diri.[4] Proses pematangan diri ini adalah suatu tahap di mana kaum muda sedang bertumbuh menuju kepribadian dewasa manusiawi, secara integral mencakup fisik, mental, emosional, rohani dan intelektual.[5] Kita bisa mengamati bahwa kompleksitas kaum muda sangatlah tampak. Sebagai pembina, seseorang harus tahu menempatkan dirinya agar bisa mengajak kaum muda bertumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik.
Kaum muda tidak bisa dilepaskan dari ikatannya dengan keluarga dan lingkungan di mana ia berada. Mereka selalu bersinggungan dan merasakan kedekatan yang akrab sambil membangun interaksi antara diri mereka dengan situasi di sekitar mereka. Ada kaum muda yang bersikap kritis dan mampu terbuka dengan nilai-nilai yang membangun, namun ada pula yang tidak mampu untuk menyaring nilai-nilai yang merusak. Hal ini mengakibatkan kaum muda tidak dapat berkembang dengan baik sesuai harapan dan cita-cita mereka.
Pengarahan diri kaum muda tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab dari kaum muda sendiri. Memang, mereka memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk menentukan masa depan mereka. Namun di lain pihak, mereka perlu mendapatkan pembinaan. Pembinaan pertama yakni berasal dari keluarga. Hal ini dikarenakan keluarga memiliki peranan penting dalam menanamkan jiwa dan semangat kerasulan yang kelak akan berguna bagi kaum muda dalam masyarakat. Selain itu, para imam sebagai pemimpin dan pelayan pastoral memiliki andil yang besar bagi kelangsungan hidup rohani kaum muda. Para imam dapat dikatakan sebagai pembimbing dan pengarah kaum muda untuk mampu menjadi agen-agen kerasulan di tengah umat dan masyarakat pada umumnya. Dan yang terakhir ialah mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Mereka inilah yang menanamkan nilai-nilai dan pendidikan yang akan membangun karakter dan pola pikir yang kelak berguna bagi masa depan kaum muda.
Pembinaan untuk kerasulan harus dimulai sejak pendidikan awal anak-anak. Tetapi secara istimewa hendaknya para remaja dan kaum muda diperkenalkan dengan kerasulan, dan diresapi dengan semangatnya. Selama hidup pembinaan itu harus disempurnakan, sejauh tugas-tugas baru yang diterima menuntutnya. Maka jelaslah bahwa mereka yang bertugas dalam pendidikan kristiani juga terikat oleh kewajiban untuk memberi pembinaan bagi kerasulan.[6]
Kaum muda juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan keluarga, imam sebagai pelayan sakramen dan pewartaan sabda serta peran pendidik/guru. Oleh merekalah, kaum muda dapat menimba nilai-nilai kehidupan yang sangat penting bagi diri mereka.

a.      K`um muda dalam Keluarga
Orang tua memiliki peran yang sangat sentral dalam membimbing dan mengarahkan anak-anak menjadi kaum muda yang matang. Prinsip yang biasanya dipakai ialah penanaman nilai-nilai yang penting untuk digunakan dalam kehidupan di masa depan. Nilai-nilai inilah yang menggerakkan kaum muda untuk mampu berinteraksi dengan rekan-rekannya yang sebaya sambil terbuka dengan perkembangan situasi saat ini. Sehingga dapat kita lihat bahwa banyak orang tua yang mengharapkan anak-anak mereka mampu mencapai kehidupan yang lebih baik daripada keadaan orang tuanya saat ini. Dalam dekrit kerasulan awam ditulis demikian:
Merupakan tugas orang tua dalam keluarga: menyiapkan hati anak-anak mereka sejak kecil untuk mengenali cinta kasih Allah terhadap semua orang, serta mengajar mereka sedikit demi sedikit, terutama dengan teladan, untuk memperhatikan keutuhan-kebutuhan jasmani maupun rohani sesama.[7]
Kaum muda mendapatkan pendidikan sejak dia masih berada dalam keluarga, artinya ketika ia berada dalam tahap anak-anak. Mereka membutuhkan dukungan, perhatian dan bimbingan dari orang tua sebagai daya pendorong untuk bertumbuh. Keluarga tidak pernah boleh dilewatkan dalam tahap mencapai kematangan psikis dan fisik. Kita dapat membandingkan kaum muda yang tumbuh di tengah retaknya hubungan dalam keluarga. Mereka akan cenderung rentan terhadap persoalan-persoalan hidup dan seringkali mencari tempat pelarian untuk menemukan kebahagiaan.
b.      Para Imam dalam Katekese dan Pelayanan
Para imam adalah para pemimpin dan pelayan umat Allah. Dalam hal ini, kaum muda juga merupakan bagian dari umat Allah yang memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam bidang rohani. Konteks kehidupan kaum muda seringkali perlu untuk dipahami secara mendalam untuk masuk ke dalam jiwa kaum muda. Hal ini penting untuk melihat bahwa kaum muda tidak boleh dilihat sebagai kumpulan orang-orang yang tidak bisa diatur, mau seenaknya sendiri, atau pun orang-orang yang kurang mampu untuk mendengarkan orang lain. Maka, imam perlu untuk mendengarkan dan mencari solusi untuk memberikan kesadaran bahwa kaum muda perlu dibekali dengan katekese dan pelayanan sabda. Hal ini digarisbawahi dengan sangat baik dalam dekrit tentang Kerasulan Awam nomor 30, bunyinya “Hendaklah para imam dalam katekese dan pelayanan sabda, dalam bimbingan rohani, dan dalam pelayanan-pelayanan pastoral lainnya memperhatikan pembinaan untuk kerasulan.”[8]
c.       Para Pendidik dan Guru
Para pendidik dan guru memiliki peran yang sangat vital bagi kaum muda karena panggilan luhur mereka. Panggilan untuk mendidik kaum muda khususnya dalam kerohanian dan keimanan dalam lingkup sekolah tidak bisa dikesampingkan. Sebab, para guru dan pendidik tidak hanya membekali diri dengan pengetahuan akademis, tetapi juga dengan kecakapan untuk mendidik kaum muda.
Begitu pula merupakan tugas mereka yang berkecimpung dalam bidang pendidikan di sekolah-sekolah, di kolese-kolese dan lembaga-lembaga katolik lainnya: memupuk semangat katolik dan kegiatan merasul di kalangan kaum muda.[9]
III.             Pembina, Pendekatan dan Metode Pembinaan[10]
a.                   Pembina
Seorang pembina harus menempatkan dirinya sebagai kawan dalam perjalanan dalam proses kedewasaan. Seorang kawan berarti ikut terlibat dan merasakan perjalanan hidup kaum muda di mana pun ia berada. Dia harus mampu untuk menjalin relasi dan kerja sama dengan kaum muda, sehingga membentuk rasa kebersamaan dan persaudaraan. Di samping itu, pembina kaum muda harus memiliki kemampuan yang lebih dalam menggerakkan kaum muda untuk mengeksplorasi diri mereka. Seorang pembina yang baik akan terlihat dan berbakat dalam menyapa dan mengenal kaum muda secara lebih dekat.
Para pembina itu menjalankan fungsinya yang khas dengan mengisi, mengarahkan dan memberi bobot pembinaan pada kegiatan-kegiatan kelompok, dan bukan mengambil alih fungsi teknis organisatoris yang menjadi tugas penggerak/pengurus kelompok sendiri.[11] Dengan demikian, para Pembina tetap memberi kelonggaran kepada kaum muda dan anggotanya untuk tetap menggerakkan organisasi dan memberi kebebasan untuk berkreasi. Pembina hanya akan mengoreksi bila itu diperlukan. Adapun yang menjadi ciri dari seorang pembina yang baik[12] adalah sebagai berikut:
1. Kepribadian: seorang pembina yang baik mampu mengenal dirinya dengan baik, yakni kecenderungan-kecenderungan yang berasal dari dirinya sendiri. Contohnya ialah mengenal kekurangan dan kelebihan dirinya sendiri, memiliki daya empati dan simpati, memiliki semangat juang dan berkeinginan untuk maju serta melihat ke masa depan dengan lebih positif.
2. Hidup Rohani: memiliki kedekatan dengan Kristus dan sabda-Nya melalui Kitab Suci, mengenal kekayaan Tradisi Liturgi Gereja dan pengetahuan tentang iman Kristiani. Hal ini penting agar kaum muda yang didampingi mampu menimba pengetahuan dan bertindak sesuai dengan imannya yang benar.
3. Hidup Intelektual: seorang pembina tidak hanya mengembangkan pengetahuan dalam keimanan, tetapi juga membangkitkan keingintahuan. Salah satu contoh nyata yang bisa ditemukan adalah keinginan untuk membaca dan menulis, serta berlinat dalam mengembangkan pengetahuan yang lain. Minat lain yang bisa ditumbuhkan ialah bagaimana mengembangkan pergaulan yang sehat di antara sesama kaum muda, mengenalkan budaya dan kesenian kepada kaum muda.  Tentu saja, ini akan membentuk karakter dan cara berpikir seorang kaum muda yang cerdas dan rendah hati.
5. Memiliki (dan dimiliki oleh) sebuah Komunitas. Seorang pembina biasanya memiliki komunitas yang tetap dan memberikan waktu kepada kaum muda.
6. Ketrampilan : ketrampilan ini biasanya berhubungan dengan cara untuk memimpin suatu pertemuan atau perkumpulan orang muda. Dalam sebuah acara, pembina dapat melakukan hal-hal demikian:
- memimpin animasi (gerak-lagu) bahkan secara spontan.
- memimpin pertemuan terbatas, misalnya 10-20 orang.
- memimpin doa bersama dan ibadat sabda ringkas.
           
b.      Pendekatan:
-pendekatan Pribadi:
Seorang pembina adalah orang yang mampu untuk melakukan pendekatan kepada masing-masing pribadi[13]. Hal ini disebabkan karena masing-masing pribadi adalah unik dan khas. Dengan melakukan pendekatan pribadi, kaum muda tidak akan merasa diajar atau dihakimi.
-pendekatan Kelompok:
Pendekatan kelompok dibedakan menjadi dua yakni:
1) Kelompok Kecil;
Dengan kelompok kecil, pembina dapat  melakukan dinamika yang lebih efektif. Dengan sebuah kelompok kecil, kelangsungan kelompok dapat lebih terjamin karena masing-masing anggota dapat saling mengenal.
2) Kelompok Besar
Kelompok besar biasanya dilaksanakan dalam kegiatan yang melibatkan jumlah anggota yang banyak. Dengan demikian, sarana dan pelaksanaan dilakukan untuk menyemangati dan meneguhkan persaudaraan dan rasa kerja sama yang erat dalam kelompok. Dapat juga dilakukan dengan menggerakkan kelompok besar dengan melalui kelompok yang lebih kecil.
c. Metode Pembinaan
            -Eksperiensial berarti mengajak kaum muda menganalisa secara kritis pengalaman-pengalaman hidup/iman untuk menemukan sendiri nilai, arti, dan makna baru yang akan menjadi bekal dan kekuatan dalam mengembangkan dirinya dan menjawab tantangan-tantangan hidup/iman di masa mendatang.[14] Pembina memberikan kemungkinan bagi kaum muda untuk menggali pengalaman, kejadian, perasaan, dan kehidupannya untuk direfleksikan. Refleksi inilah yang kelak mengantar kaum muda penemuan kepada makna yang baru. Jadi, yang ditekankan adalah proses penemuan dari pengalaman diri sendiri.
            -Dialogal
Ciri dialogal terwujud dalam relasi dan interaksi antar kaum muda maupun dengan pembina yang sedang memimpin kegiatan pembinaan.[15]Baik relasi maupun interaksi antara kaum muda dengan pembina, diharapkan terjalin penghargaan terhadap kaum muda sehingga mereka dapat bertumbuh dan berkembang tanpa merasa digurui atau digiring menurut pembina.

IV.              Langkah Pembinaan:
Pembinaan yang baik adalah pembinaan yang memperhatikan kebutuhan kaum muda, baik yang berdimensi manusiawi maupun yang berdimensi teologis karya pastoral.[16] Keduanya merupakan dua realitas yang berbeda sehingga dalam pelaksanaannya seringkali seorang pembina harus menghadapi aneka kesulitan. Maka dari itu, pembina memerluka beberapa hal untuk menyiapkan bahan demi terselenggaranya sebuah pembinaan yang baik, yakni:
a.       Perencanaan pembinaan
b.      Memilih metode
c.       Proses pembinaan: metode dan langkah pelaksanaan
d.      Posisi pembina
V.                Kesimpulan
            Para pembina kaum muda adalah sosok penting dalam menumbuhkembangkan kaum muda yang tangguh dan handal di tengah masyarakat. Mereka bagaikan kompas yang memberikan petunjuk kepada kaum muda untuk mengarahkan diri mereka. Namun di balik pembina yang baik, tidak hanya dibutuhkan seorang yang memiliki kemauan saja. Lebih dari itu, seorang pembina harus dilengkapi dengan pengalaman yang memadai, mampu untuk mengembangkan diri, memiliki cinta yang mendalam terhadap kaum muda dan memberikan teladan kebaikan.
           


[1] Bdk. Dekrit Kerasulan Awam. Art. 30., hlm. 357.
[2]Ibid., hlm 357.
[3] Bdk. Rm. Adi, CM, Lic, Teologi Pastoral II (Pastoral Kaum Muda-mudi), Malang: STFT Widya Sasana. 2010. Hlm. 2.
[4] Ibid. Hlm. 2.
[5] Ibid. Hlm. 2.
[6] Op.Cit., Dekrit tentang Kerasulan Awam art.30. 375.
[7] Ibid., Hlm, 375.
[8] Ibid. Hlm. 376.
[9] Ibid. Hlm. 376.
[10] Op.Cit., Rm. Adi, CM., Hlm. 10
[11] Bdk. Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia, Pedoman Pastoral Kaum Muda, Jakarta: KWI, 1993.
[13] Op.Cit., Komisi Kepemudaan., hlm 18.
[14] Ibid., hlm 20
[15] Ibid. hlm 20
[16] Op.Cit. Rm. Adi. CM, hlm. 10.