CIAO INDONESIA

Jumat, 06 Mei 2011

Kearifan Lokal dalam Keluarga Jawa

Pengantar

Dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud menjelaskan hakikat keluarga Jawa secara menyeluruh. Sebab, keluarga Jawa merupakan sebuah realitas yang kompleks dan membutuhkan suatu penelitian yang komprehensif. Penulis membatasi persoalan seputar kehidupan keluarga Jawa secara umum. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa keluarga Jawa semakin mendapat tantangan dari kehidupan modern yang mengedepankan segi individualitas dan peran orang tua yang kian luntur. Penulis hanya ingin memberikan sedikit gambaran tentang kearifan lokal yang terkandung dalam keluarga Jawa yang hidup dalam kesehariannya.

Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang mencakup banyak dimensi, salah satunya ialah dimensi keluarga. Keluarga dalam masyarakat Jawa dipahami sebagai sebuah tempat di mana para anggotanya memperoleh kebahagiaan dan kebebasan. Keluarga juga adalah tempat untuk menemukan keamanan dan perlindungan. Franz Magnis-Suseno menjelaskan demikian:

“Bagi individu Jawa keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Itu pertama-tama berlaku tentang orang tua. Mereka adalah sumber pertama kesejahteraan jasmani dan rohani bagi anak mereka, dari mereka ia menerima segala macam kebaikan, dan berkat mereka ia memperolah kedudukannya dalam masyarakat. Mereka memberikan cinta kasih mereka kepada anaknya dan segala apa yang dibutuhkannya, tanpa menghitung dan tanpa prasyarat. Mereka selalu bersedia untuk memaafkan kekeliruan dan kenakalan-kenakalannya, dan dalam segala keadaan kehidupan mereka merupakan batu karang keamanan baginya.”[1]

Lebih lanjut menurut Magnis-Suseno, cinta kasih orang tua senantiasa dicurahkan kepada anak-anak mereka dalam bentuk pemenuhan kebutuhan hidup dan kasih sayang (tresna). Kebiasaan-kebiasaan moral selalu ditekankan agar anak-anak tumbuh sebagai orang yang tahu sopan santun dan mempunyai rasa malu (isin).

Selain itu, orang Jawa memiliki kultur budaya di mana mereka diwajibkan untuk hidup dalam perkawinan. Mereka biasanya mengikuti acara perjodohan yang dilakukan oleh orang tua mereka. Mereka yang tidak mengikuti tatanan ini akan dianggap sebagai orang yang tidak mengikuti tradisi. Tradisi ini biasanya dibawa dalam suatu tata cara ritual yang harus dijalani oleh orang tua maupun anak-anak mereka yang akan dijodohkan. Hanya saja belakangan ini, anak-anak yang sudah mendapat kebebasan dalam mengenyam pendidikan terkadang menolak perjodohan dan berusaha mencari pasangan mereka sendiri. Ada kalanya, anak-anak yang demikian dipandang kurang menaruh hormat dan taat terhadap orang tua. Perlakuan yang tidak hormat dapat menimbulkan akibat-akibat moral (walat)[2]. Namun, perkawinan tetap dipandang sebagai bagian dari kehidupan orang Jawa.

“kawin dan menjadi orang tua adalah suatu kenyataan alam dan suatu kewajiban terhadap tatanan kehidupan. Tidak mengikuti tugas ini akan dianggap sebagaii aneh dan tidak jawa.”[3]

Tantangan terhadap keluarga Jawa

Dewasa ini, keluarga Jawa dapat dikatakan sudah berbeda dengan keluarga Jawa pada zaman dulu. Persoalan kehidupan keluarga Jawa sekarang amat kompleks karena perbagai benturan dan pengaruh budaya asing. Selain dari luar, persoalan pun dapat muncul dari dalam keluarga itu sendiri. Percekcokan karena perbedaan pandangan, masalah ekonomi, dan akhirnya perceraian menjadi sesuatu yang kerap terdengar. Sehingga, kita harus melihat kedua asal kemunculan persoalan tersebut agar dapat mengetahui bagaimana tantangan-tantangan tersebut mempengaruhi kehidupan keluarga Jawa.

Pertama, pelanggaran terhadap norma yang berlaku dalam keluarga Jawa dan secara luas dalam masyarakat disebabkan oleh ketidaktahuan para anggotanya terhadap nilai luhur mereka sendiri. Kenyataan ini seringkali mendapat pengamatan dari orang-orang Jawa sendiri yang ikut serta merasakan bahwa tradisi mereka tergerus oleh arus modernitas. Ada semacam ketegangan yang terjadi antara pandangan yang tetap memegang teguh tradisi dan pandangan yang terbuka terhadap perkembangan.

Hal kedua yang ikut mendorong terjadinya persoalan dalam hidup keluarga Jawa ialah tidak dipatuhinya norma-norma yang berlaku dalam suatu hubungan antara orang tua dan anak-anak mereka. Persoalan ini sering dikaitkan dengan persoalan budaya asing yang sudah merasuki alam pikiran anak-anak dewasa ini serta perkembangan mode dan trend. Bagi orang tua, anggapan bahwa anak-anak belum mengerti sepenuhnya seputar dunia luar ikut mempengaruhi peran orang tua. Sehingga, orang tua berkewajiban untuk ikut membentengi anak-anak dari pengaruh buruk di luar keluarga. Entah dengan cara yang halus, entah dengan cara yang sedikit kasar tidak menjadi persoalan, terutama pendidikan orang tua dulu. Ini adalah tantangan serius tentang bagaimana kuatnya pengaruh asing yang masuk dalam ranah keluarga.

Mengikuti Tatanan Hidup

Orang Jawa menginginkan kehidupan keluarga yang harmonis dan menjadi tempat yang baik untuk anak-anak mereka. Mereka berusaha menumbuhkan kesan harmonis dalam keluarga, sebab keluarga adalah tempat anak-anak mereka pertama-tama tumbuh menjadi seorang pribadi. Orang tua mencintai anak-anak mereka dengan memberikan pelajaran hidup dan memenuhii kebutuhan mereka. Anak-anak pun diharapkan menaruh hormat kepada orang tua mereka dengan berlaku sopan dan taat. Demikian pula halnya dengan keserasian antara suami dan istri sangat ditekankan dalam keluarga Jawa. Kehidupan yang mesra dan rukun adalah prioritas yang utama.

“Harapan hidup berumah tangga adalah keserasian yang meliputi seluruh warganya. Hal ini tercermin dalam hubungan antara suami dan isteri. Suatu rumah tangga yang penuh terisi pertentangan antara suami dan isteri memberikan bukti bahwa hidup mereka di dalam keluarga tidak serasi. Sebaliknya hubungan suami isteri yang serasi, rukun, tenteram, bahagia, tidak pernah cekcok, memenuhi undangan (harapan) orang tuanya yaitu hidup serasi laksana mimi lan mituno.[4]

Pandangan tentang tatanan hidup adalah pandangan khas untuk mengetahui kehidupan di Jawa, khususnya keluarga Jawa. Mereka sangat menghargai tatanan hidup dan berusaha untuk menghidupinya. Orang Jawa tidak menyukai hal-hal yang kurang sopan dan tidak beradab. Mereka mengajarkan kebiasaan baik kepada anak-anak mereka dan melarang untuk berbuat yang tidak sopan. Hal ini dapat terlihat dari ungkapan mikul dhuwur, mendhem jero. Secara hurufiah, mikul dhuwur berarti “memikul setinggi-tingginya”, yaitu nama baik dan moral yang tak bercela harus dijunjung tinggi. Sedangkan mendhem jero berarti “menanam dalam-dalam”, yaitu segala sesuatu yang menimbulkan ketidakselarasan, perasaan agrasif, atau apa saja yang dirasakan negatif mengenai kehidupan keluarga, terutama dalam hubungan antara orang tua dan anak-anak. Ketidakselarasan dapat dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar tatanan. Demikianlah penjelasan Niels Mulder tentang pandangan orang Jawa mengenai tatanan:

“salah satu kunci untuk mengerti kehidupan di Jawa adalah keinginan orang Jawa akan terciptanya tatanan. Sekalipun ada kesadaran yang kuat bahwa kehidupan dan nasib seseorang berkembang sendiri dalam batas-batas tata Hidup yang besar, namun tatanan itu dirasakan sebagai bersifatgaib dan di luar kekuasaan seseorang secara langsung.”[5]

Untuk mewujudkan keluarga yang demikian tidak pernah mudah. Anggapan bahwa banyak anak banyak rejeki tidak serta merta dapat terwujud, apalagi dalam keluarga yang kurang mampu. Karena itu, mereka harus memahami tantanan yang baik. Tatanan yang baik nyata dalam berbuat aktif membentuk keberadaan seseorang sambil bersikap setia akan tempatnya dalam kehidupan ini.[6] Orang Jawa yang hidup dalam kehidupan berkeluarga dituntut untuk menyelaraskan pandangannya terhadap tatanan. Sebagai orang tua, mereka berkewajiban untuk menjaga agar anak-anak mereka dapat tumbuh menjadi orang yang njawani, yaitu tahu sopan santun, taat, ramah, dan tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Sedangkan sebagai anak, mereka berkewajiban untuk mengabdi orang tua dan mengamalkan segala pelajaran hidup yang telah mereka terima dari orang tua. Sehingga, diharapkan mereka kelak dapat menjalankannya ketika mereka berperan sebagai orang tua dalam keluarga.

Daftar Pustaka

Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia. 1985.

Mulder, Niels. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1996.

Purwadi. Cokro Manggilingan konsep hidup jawa untuk menggapai ketentraman lahir batin. Yogyakarta: Gelombang Pasang. 2006.



[1] Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa sebuah analisa falsafi tentang Kebijaksanan Hidup Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 169.

[2] Niels Mulder, Pribadi dan masyarakat di Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm.46.

[3] Niels Mulder, hlm.36.

[4] Dr. Purwadi, M.Hum dan Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum, Cokro Manggilingan konsep hidup jawa untuk mencapai ketentraman lahir batin, (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006), hlm. 17.

[5] Niels Mulders, Ibid. hlm 34.

[6] Niels Mulder, Ibid. hlm 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar