CIAO INDONESIA

Selasa, 20 Maret 2012

Manusia Sebagai Subyek Kerja

(Refleksi Etis-Teologis Atas Ensiklik Laborem Exercens 6)

Oleh: Albertus Arif

I. Pendahuluan

Kerja memiliki hubungan yang erat dengan keberadaan manusia. Paus Yohanes Paulus II menyoroti makna kerja ini dalam ensikliknya yang berjudul Laborem Exercens (untuk selanjutnya disingkat LE). Ensiklik dari Paus Yohanes Paulus II ini secara lugas membahas tentang posisi manusia dan makna kerja bagi manusia. Dalam pandangan penulis, Yohanes Paulus II memberikan gambaran yang cermat seputar manusia dan kerja. LE memberikan gagasan yang komprehensif mengenai manusia dalam hubungannya dengan kerja dalam corpus ajaran sosial Gereja.[1] Dengan bekerja, manusia menampilkan citra yang menyerupai Allah sendiri, tanggung jawab manusia untuk terus bekerja dalam penciptaan yang terus berlangsung serta penciptaan kembali baik diri manusia maupun dunia (bdk. Kej 1:26).

Penulis mencoba melihat kaitan antara kerja dan martabat manusia yang akan dijelaskan dalam terang LE. Martabat inilah yang hendak diangkat oleh penulis. Mengapa martabat manusia yang disorot? Hal ini dikarenakan makna dan tujuan hidup manusia selalu dalam hubungannya dengan kerja: kerja untuk manusia dan bukan manusia untuk kerja; bahkan, kerja lebih utama dari modal.[2] Hal ini dikarenakan kerja sudah direduksi pada tataran hasil produksi yang harus dikerjakan. Manusia tidak lagi dihargai sebagai manusia, melainkan sebagai bagian dari sebuah komoditas. Keberadaan manusia dalam dunia kerja telah direduksi. Konsekuensinya ialah kerja pada saat sekarang mulai mengalienasi manusia dari hasil kerjanya. Perubahan ini begitu besar dalam dunia saat ini. Dengan demikian, martabat manusia sudah tidak dihargai lagi.

Dalam paper ini, penulis hendak mengangkat pertama-tama dari ensiklik LE, yakni konteks dan garis besarnya, arti dan makna kerja, kerja dalam kaitannya dengan ensiklik LE 6, relevansi dan penutup.

II. Menggali Nilai Kerja dalam Hubungannya dengan LE

2.1 Konteks LE

LE ditulis sebagai suatu tanggapan atas perubahan sosial yang mendalam sejak revolusi industri baik di Eropa maupun Amerika Serikat yang membawa dampak pada martabat serta hak-hak para pekerja.[3] Paus Yohanes Paulus II melihat adanya persoalan-persoalan baru yang muncul sejak adanya revolusi industri ini bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya, secara khusus kaum buruh. Baginya, kerja dan persoalan baru tersebut membutuhkan penataan dan penyesuaian agar sesuai dengan struktur dan distribusi kerja. Jika tidak demikian, maka timbul pelbagai pergolakan di antara buruh dan majikan yang akan mengakibatkan tidak adanya kesejahteraan antar keduanya.

Ia menjelaskan poin penting tentang perkembangan teknologi, penggalian sumber daya alam, semakin berkembangnya kesadaran akan ekologi yang semakin merosot, serta pengangguran yang diperparah oleh perusahan multinasional yang memindahkan lokasi kerja mereka ke negara berkembang.[4] Pemindahan ini lebih disebabkan karena upah buruh yang rendah serta gerakan buruh yang seringkali dibekap oleh pemerintah. Tentu saja, keuntungan profit besarlah yang menjadi motivasi dari perusahaan-perusahaan multinasional ini. Di sinilah LE hadir untuk mengangkat isu posisi manusia dalam kerja sebagai fenomena global, namun tetap relevan pada level nasional, internasional dan transnasional.[5]

Di samping adanya fenomena global, LE muncul pada situasi di mana kerja mengalami krisis makna atau nilai, sebagai bagian dari krisis nilai yang menggejala pada masyarakat kontemporer.[6] Masyarakat hidup dalam peradaban materialistik yang lebih mengutamakan hidup konsumtif tanpa melihat akibat dari pemenuhan kebutuhan yang berkelebihan. Peradaban ini melihat bahwa peluang untuk memperoleh kenikmatan dan kesejatian hidup adalah memiliki materi sebanyak-banyaknya. Untuk mendapatkan semua itu, mereka menjadi penikmat dan pemakai barang-barang yang dihasilkan oleh produsen-produsen dan produk-produk ternama. Di samping itu, para produsen terus mengeluarkan produk-produk yang dinilai mampu memenuhi kesenangan dibandingkan dengan kebutuhan. Akibatnya, nilai dan makna kerja terus mengalami kemerosotan akibat para pemilik perusahaan meminta para pekerja untuk menambah jam kerja karena harus memenuhi kebutuhan pasar. Setiap pekerja diwajibkan untuk dapat memenuhi permintaan pasar tanpa memperhatikan kondisi para pekerja, sehingga para pekerja yang tidak produktif mengalami pemecatan. LE sebagai dokumen yang lahir dalam konteks yang demikian tentu saja berusaha menanggapi ketidakadilan yang terjadi ini.

Hal lain yang dipandang memiliki kaitan dengan konteks LE adalah situasi ketegangan antara gerakan buruh Solidaritas dan pemerintah Komunis Polandia.[7] Seperti di kebanyakan negara, gerakan ini ingin menunjukkan solidaritasnya kepada kaum buruh yang merasa ditindas oleh pemilik perusahaan dan penguasa yang adalah pemerintah Komunis. Namun, pemerintah Komunis merasa terancam oleh kehadiran gerakan ini dan mereka ingin memberangus gerakan ini. Di saat itulah Paus Yohanes Paulus II berusaha mencari jalan untuk mencari perdamaian antar keduanya dan menyampaikan pesan kepada para pemimpin Gereja untuk mendukung tuntutan yang disampaikan oleh gerakan buruh Solidaritas. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa banyak unsur analisa masyarakat dan kebijaksanaan sosial yang diambilnya dari alam pikiran Sosialis.[8] Namun, tidak semua padangan Sosialis dapat dimasukkan dalam ensikliknya ini, karena ada hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Kristiani. Sistem Kapitalisme juga dipandangnya tidak memberikan kontribusi yang baik untuk menyelesaikan masalah sosial (dan pada kunjungannya ke Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat Yohanes Paulus II menyuarakan dengan jelas kritik terhadap Kapitalisme).[9] Dari perjumpaan dengan situasi dan kondisi seperti itulah, Paus Yohanes Paulus menuliskan dokumennya.

LE adalah ensiklik Yohanes Paulus II yang ketiga, sesudah Redemptor Hominis (4 Maret 1979) dan Dives in Misericordia (30 November 1980).[10] Ensiklik ini dihadirkan sebagai pengenangan sembilan puluh tahun Rerum Novarum (1891) dan seharusnya terbit – sesuai dengan tanggal terbitnya RN – pada tanggal 15 Mei. Namun, penembakan Paus Yohanes Paulus II oleh Ali Agca menyebabkan LE ini terbit empat bulan terlambat, pada tanggal 15 September 1981.[11]

2.2. Garis Besar LE

RN (1981) yang diperingati LE berbicara tentang kaum buruh, sedangkan Paus Yohanes Paulus II dalam LE menyoroti tentang kerja.[12] Namun, ada yang menarik untuk disimak bahwa LE sendiri tidak mengutip dari RN, melainkan dari GS keluaran Konsili Vatikan II. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan GS memberikan suatu antropologi teologik, yaitu suatu refleksi iman atas manusia yang berkarya dalam dunia sebagai makhluk sosial; dengan demikian Gereja menjalankan tugas pokoknya – yaitu mewartakan kabar gembira ke dalam dunia yang otonom.[13] Demikian pula tema-tema penting LE berupaya untuk mewartakan nilai dan spiritualitas kerja manusia di dunia dewasa ini. Tujuannya jelas, yakni ingin menolong semua orang untuk semakin dekat dengan Sang Pencipta dan ikut bekerja dalam rencana keselamatan-Nya.

LE dibagi menjadi lima bagian yang merujuk pada pengertian dan makna kerja. Ada pun pembagiannya adalah sebagai berikut: Pendahuluan (1-3), Kerja dan Manusia (4-10), Konflik Antara Kerja dan Modal Pada Tahap Sejarah Masa Kini (11-15), Hak-Hak Kaum Buruh (16-23), dan Unsur-Unsur Spiritualitas Kerja (24-27).

LE melihat makna kerja sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manusia yang bermartabat. Kerja ditempatkan dalam di atas landasan teologis mengenai keluhuran manusia: citra Allah (Bdk. Kej 1:26). Kitab Kejadian sebagai sumber acuan LE 6 menjadi gambaran bahwa Allah mengajak manusia sebagai rekan kerjaNya. Manusia adalah “citra Allah”. Dia adalah seorang pribadi atau subyek kerja.[14] Sebagai subyek kerja, manusia adalah pribadi yang sadar dan bebas atau dengan kata lain dialah yang mengambil keputusan tentang dirinya sendiri. Konsep ini memiliki kosenkuensi yang amat penting dalam perkembangan selanjutnya, sebab dari sinilah berkembang ajaran tentang martabat manusia. Inilah ajaran yang hendak ditampilkan dalam ensiklik ini.

Kerja manusia memiliki dua makna, yakni makna obyektif dan makna subyektif. Arti obyektif dari kerja dipahami sebagai jumlah aneka kegiatan, sumber daya,sarana dan teknologi yag digunakan oleh manusia untuk menghasilkan barang-barang, untuk menaklukan bumi dan berkuasa atasnya, menyitir kata-kata Kitab Kejadian.[15] Sedangkan arti subyektif kerja dipahami sebagai kegiatan pribadi manusia sebagai makhluk yang dinamis yang mampu melaksanakan aneka ragam tindakan yang merupakan bagian dari proses kerja dan yang bersepadanan dengan panggilan pribadinya.[16] Paus Yohanes Paulus memberikan judul tentang kerja dalam arti subyektif yakni manusia sebagai pelaku kerja. Biarpun kerja dalam arti obyektif untuk mencari nafkah, namun nilai subyektif kerja tidak bisa diabaikan. Di dalamnya terkandung arti bahwa manusia mewujudkan dirinya dan dengan itu semakin menjadi manusiawi.

LE 6 mengatakan bahwa kenyataan bahwa Dia yang – sementara tetap Allah sendiri, - menyerupai kita dalam segalanya (bdk. Ibr 2:17; Flp 2:5-8), memperuntukkan sebagian terbesar hidup-Nya di dunia ini bagi kerja tangan pada bangku kayu.[17] Karya Tuhan Yesus inilah yang memperlihatkan bahwa makna kerja ditentukan lewat pekerjaan yang sederhana. Inilah situasi yang dikatakan sebagai “Injil Kerja”, yakni pernyataan bahwa nilai kerja manusiawi bukan ditentukan dari corak kerja yang dijalankan melainkan kenyataan bahwa pelakunya adalah pribadi manusia.[18] LE 6 juga menampilkan bahwa setiap macam kerja terutama dinilai berpedoman pada martabat pelaku kerja, yakni pribadi, individu yang menjalankannya.[19] Dengan mengatakan demikian, ensiklik ini hendak memperlihatkan bahwa makna subyektif manusia menduduki peran yang pertama dibandingkan dengan makna obyektifnya. Setiap manusia bebas untuk bekerja apa pun juga dengan nilai obyektif yang besar maupun kecil. Sebab, manusialah yang memberi makna setiap pekerjaan yang dilakukannya. Dan akhirnya, LE 6 menegaskan bahwa manusia adalah tujuan terakhir dari setiap kerja.[20] Kerja tidak boleh berhenti pada dirinya sendiri (in se), melainkan kerja pertama-tama adalah “demi manusia” dan bukan “manusia demi kerja”.

III. Martabat Kerja Manusia dalam Terang LE 6

3.1 Arti dan Makna Kerja

Pertanyaan mendasar dan penting untuk ditanggapi ialah mengapa manusia bekerja? Kerja dimaksudkan untuk hidup, mengusahakan nafkah; mendorong kemajuan dan perkembangan kebudayaan serta perikemanusiaan; memajukan atau mengembangan diri manusia itu sendiri, aktualisasi diri serta bakat-bakatnya.[21] Dalam hal ini, kerja yang dimaksudkan ialah kerja dengan jerih payah (labor) dan bukan karya luhur (opus).

Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat menjelaskan bahwa kerja (work) dipahami sebagai tindakan manusia yang menghasilkan produk tertentu atau perubahan kualitatif. Kerja tidak harus menghasilkan produk-produk material (bendawi).[22] Lorens juga menambahkan bahwa manusia dikatakan bekerja jika ia menggunakan daya rohani dan jasmaninya, artinya dengan seluruh kemanusiaannya.

Kerja menentukan martabat manusia dalam alam ciptaan Allah ini. LE menggambarkan bahwa dalam Perjanjian Lama, Allah ditampilkan sebagai Pencipta yang mahakuasa (bdk. Kej 2:2; Ayb 38-41; Mzm 104; Mzm 147) yang membentuk manusia seturut citra-Nya dan mengundang dia untuk mengolah tanah serta serta mengusahakan dan memelihara taman Eden di mana Allah telah menempatkannya.[23] Kitab Kejadian menerangkan bagaimana perintah untuk mengolah tanah diberikan kepada manusia. Perintah inilah yang dipahami sebagai partisipasi manusia dalam melestarikan hasil kerja Allah. Manusia mendapat perintah dari Allah untuk memelihara tanah yang dapat diartikan sebagai perintah untuk bekerja (bdk. Kej 2:5-6).

Kerja memiliki corak yang sangat beraneka ragam. Dalam hal ini, manusia memiliki kapasitas untuk melakukan apa saja untuk menghasilkan produk atau perubahan kualitatif. Untuk memudahkan manusia dalam bekerja, manusia menggunakan mesin atau tenaga binatang. Manusia memang menggunakan mesin dan binatang untuk membantu mereka. Binatang-binatang dan mesin-mesin bekerja, tetapi kerja mereka sejauh manusia mengarahkan mereka dan menggunakan kegiatan mereka. Kerja dipahami sebagai ciri khas yang dimiliki oleh manusia. Ia merupakan privilese manusia.[24] LE juga menekankan bahwa kerja termasuk unsur hakiki manusia dan merupakan kekhasan manusia bahwa ia dapat mengolah dunia dan membangun kondisi hidupnya sendiri.[25] Dengan bekerja, manusia mewujudkan kemanusiaan dirinya. Allah telah menyerahkan segala yang telah diciptakan-Nya kepada kekuasaan manusia. Dengan melakukan demikian, Allah hendak menyatakan bahwa manusia turut ambil bagian dalam karya-Nya di dunia ini.

Pemilahan ini penting baik untuk memahami apa yang menjadi landasan paling tinggi nilai dan martabat kerja, maupun yang berkenaan dengan berbagai kesukaran dalam menata sistem ekonomi dan sistem sosial yang menghormati hak asasi manusia.[26]

3.2 Martabat Manusia dengan Bekerja

a. Manusia adalah Subyek Kerja

Dalam LE 6 dikatakan, “manusia harus menaklukan bumi dan menguasainya, karena sebagai ‘citra Allah’ ia seorang pribadi, artinya: subyek yang mampu bertindak secara berencana dan rasional, mampu mengambil keputusan tentang dirinya, dan membawa dorongan ke arah realisasi diri.”[27] Melihat teks di atas, kita dapat memahami bahwa manusia sebagai subyek merupakan ciptaan Allah yang mampu merencanakan, mampu berpikir rasional, otonom untuk mengambil keputusan dan senantiasa ingin untuk merealisasikan dirinya. Manusia harus dihargai karena mencerminkan Sang Pencipta.

Allah sendiri menegaskan dalam Kitab Kejadian bahwa manusia dipanggil untuk bekerja. Panggilan ini terkandung dalam perintah Allah untuk menaklukan bumi dan menguasainya. “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu…” (Bdk. Kej 1:28). Dalam teks ini, bumi dalam arti tertentu perlu untuk ditaklukan dan manusialah yang menerima perintah tersebut dari Allah. Maka, perintah ini perlu dihubungkan dengan manusia yang adalah seorang pribadi. Perintah ini tidak diberikan kepada ciptaan Allah yang lain, tetapi hanya kepada manusia. Berdasarkan teks di atas, kita mengetahui dengan baik bahwa manusia dipandang sebagai citra Allah. Dengan citra Allah, manusia memiliki kebebasan untuk menanggapi dengan keseluruhan dirinya. Tanggapan ini juga menunjukkan bahwa manusia mampu merealisasikan dirinya untuk bekerja sama dengan Sang Pencipta, yaitu Allah sendiri.

Manusia mesti bekerja, baik karena Sang Pencipta telah memerintahkannya maupun dalam rangka menanggapi kebutuhan untuk mempertahankan serta mengembangkan kemanusiaannya sendiri.[28] Inilah kewajiban manusia yang terdalam dalam rangka memenuhi tugasnya.Yesus sendiri sebagai Guru dan inspirator bagi Ajaran Sosial Gereja memberikan teladan bagaimana ia turut bekerja dalam hidup-Nya sebagai manusia. Dia yang adalah Allah memperuntukkan sebagian terbesar hidup-Nya di dunia ini bagi kerja tangan pada bangku tukang kayu.[29] Dengan bekerja sebagai tukang kayu, Dia menunjukkan bahwa pekerjaan yang kiranya dipandang sederhana pun merupakan partisipasi dalam kerja yang dilakukan oleh Allah.

Rasul Paulus di tempat lain ikut menegaskan bahwa jika seseorang tidak mau bekerja, ia tidak boleh makan (Bdk. 2 Tes 3:10). Apa yang menjadi perhatian Rasul Paulus adalah manusia memiliki potensi yang harus dimaksimalkan dengan baik. Potensi yang ada harus dikembangkan dan diwujudnyatakan dalam hasil yang nyata. Sebagai orang Kristiani yang sejati, setiap orang harus ikut “menggarami dan menerangi dunia” lewat tindakan dan perkataannya. Dan semua itu terwujud antara lain dalam kerja. Namun, manusia tidak boleh melupakan bahwa dirinya bukanlah pemilik, melainkan orang-orang kepada siapa, mereka dipanggil untuk memantulkan di dalam cara kerja mereka sendiri gambar dari Dia yang di dalam keserupaan dengan-Nya mereka telah diciptakan. LE 4 menambahkan, “walaupun melalui kerjanya manusia makin menguasai bumi, dan melalui kerjanya pula ia memantapkan kedaulatannya atas alam yang kelihatan, namun bagaimana pun juga dalam setiap hal dan pada setiap tahap proses itu ia tetap masih bergerak dalam lingkup penataan asli oleh Sang Pencipta. Dan penataan itu pun secara niscaya dan tak terlepaskan berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia diciptakan, sebagai laki-laki dan perempuan, ‘menurut gambar Allah.”[30]

Kita bisa melihat bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, misalnya mencuci, memasak, menulis, mencangkul dan lain-lain tetap merupakan tindakan ambil bagian dalam karya Allah. Hal ini dikarenakan bahwa yang mengerjakan adalah seorang pribadi manusia. Tidak menjadi soal apakah pekerjaan itu ringan ataupun berat, maupun kompleks atau sederhana, sebab setiap pekerjaan adalah bentuk pelayanan kepada sesama dan kepada Allah sendiri. Dengan melakukan tindakan demikian, manusia memberikan kesaksian bahwa kerja memiliki nilai-nilai yang luhur terutama dalam kerja Allah. Selain itu, kerja manusia selalu merupakan kaitan dengan kerja bagi dan dengan sesama. Paus Yohanes Paulus II sendiri menyatakan dalam Ensiklik Centesimus Annus bahwa “lebih dari kapanpun, bekerja berarti bekerja dengan sesama dan bekerja untuk sesama”.[31] Jadi, dapat dimengerti bahwa kerja juga memiliki sebuah matra sosial yang intrinsik. Setiap orang mau tidak mau bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Baik secara langsung maupun tidak langsung, ia juga memenuhi kebutuhan orang lain juga. Sebab, buah-buah kerja memberi kesempatan bagi pertukaran, relasi dan perjumpaan antar sesama manusia.

b. Manusia sebagai Tujuan Kerja

LE 6 menegaskan bahwa dasar utama nilai kerja adalah manusia sendiri. Dampaknya ialah bahwa dalam bidang etika sama sekali tidak dibenarkan adanya pemaksaan terhadap manusia. Manusia tetap dipandang memiliki kedaulatan atas dirinya. Jadi ungkapan bahwa manusia untuk kerja sama sekali tidak benar. Kerja pertama-tama adalah untuk manusia. Sebab, hal ini disinggung dalam LE 6 bahwa di masa lampau kerja dibagi ke dalam golongan kelas-kelas dan dibeda-bedakan. Kerja yang menuntut penggunaan fisik, pekerjaan tangan yang kasar dianggap tidak pantas bagi manusia yang bebas. Pekerjaan yang demikian sangat tepat untuk dikerjakan oleh budak. Di zaman sekarang, orang mulai memahami bahwa tindakan demikian tidaklah tepat. Semua pekerjaan tentu memiliki nilai etis bagi manusia. Orang juga melihat bahwa manusia tidak boleh direndahkan martabatnya menjadi seorang budak.

Manusia juga dipandang sebagai makhluk pekerja (homo faber). Dengan mengatakan demikian, kita diajak untuk melihat bahwa kerja selalu dikaitkan dengan manusia karena manusialah yang dipandang memiliki potensi dalam dirinya. Dengan bekerja, manusia mengembangkan potensi yang dimilikinya. Tanpa bekerja, manusia kehilangan identitas dirinya. Hubungan ini mempengaruhi bagaimana manusia mampu merealisasikan dirinya. Mengapa demikian? Karena kerja manusia ikut membentuk kebudayaan yang hingga saat ini terus berkembang. Tanpa kerja, kebudayaan manusia tidak pernah ada.

Kunci utama untuk memahami refleksi teologis Paus Yohanes Paulus II adalah gagasan Kitab Kejadian tentang manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dengan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, manusia diberi mandat menguasai alam, tetapi tidak dalam arti eksploitasi tetapi berpartisipasi dalam Allah yang terus menguasai alam raya.[32] Maka, Yohanes Paulus sungguh menekankan bahwa manusia tidak boleh disingkirkan dalam pembangunan dan pengembangan masyarakat dengan dalih apapun. Manusia harus ditempatkan sebagai rekan yang dipandang memiliki hubungan dengan Allah dan harus dihormati martabat dan harkatnya.

Pada saat ini manusia mengalami degradasi dalam kerja. Degradasi ini dipahami sebagai akibat dari adanya eksploitasi dalam dunia kerja atas manusia.[33] Bentuk yang nyata adalah manusia dijadikan sebagai sarana atau alat yang berguna bagi produksi. Hal ini diakibatkan karena manusia sudah tidak mampu melihat nilai kerja sebagai tujuan yang membangun manusia. Kerja dilihat sebagai aktivitas yang mengasingkan manusia dari kehidupannya sendiri. Inilah dilema dalam kerja saat ini. Untuk membebaskan dirinya, manusia tidak mampu lagi melihat bahwa dirinya adalah pribadi yang otonom terhadap dirinya sendiri.

IV. Relevansi

Dewasa ini, banyak orang memaknai kerja sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi hidup. Memang pandangan ini sangat positif, namun ada pula beberapa orang yang kurang mampu untuk menempatkan dirinya sebagai pribadi atau rekan kerja Allah. Sehingga, penjelasan di atas sungguh memberikan nilai-nilai yang berguna untuk orang-orang di zaman ini.

Pertama: Manusia harus dipandang sebagai citra Allah. Dengan merujuk pada citra Allah, manusia dipandang sebagai rekan kerja Allah. Manusia tidak boleh direndahkan atau dipandang sebelah mata, sehingga keberadaannya harus diakui. Hal ini penting untuk disadari dengan baik karena saat ini ada banyak orang yang menganggap pekerjaan berdasarkan uang yang dihasilkan atau sebatas materinya. Orang disamakan dengan pekerjaannya, sehingga orang yang berpangkat tinggi lebih dihargai daripada mereka yang bekerja kasar dengan gaji yang kurang memadai. Atau mereka yang bekerja di luar rumah dan mampu menghasilkan uang lebih dihargai dibandingkan dengan pekerjaan untuk mengurus rumah tangga.

Tuhan Yesus sendiri menegaskan dalam kesaksian hidup-Nya bahwa Dia bekerja sebagai tukang kayu. Pekerjaan ini dipandang penting karena bukan pekerjaannya yang dilihat tetapi Yesuslah yang memberi makna pada pekerjaannya. Manusia yang sungguh-sungguh bekerja dengan hati akan menghasilkan makna yang bagi dirinya, karena dia memberikan keseluruhan dirinya untuk bekerja. Tetapi, mereka yang bekerja tidak didasari dengan hati maka dia tidak memberi makna kepada hasil kerjanya. Dengan kata lain, manusia sendirilah yang memberi makna.

Dengan mengatakan bahwa manusia adalah citra Allah, LE menerangkan bahwa manusia bukanlah pemilik dari bumi ini, tetapi dipanggil untuk merawat dan mengolahnya. Mereka dipanggil untuk memantulkan cara kerja Allah dari semula. LE 4 menerangkan, “Walaupun melalui kerjanya manusia makin menguasai bumi, dan melalui kerjanya pula ia memantapkan kedaulatannya atas alam yang kelihatan, namun bagaimanapun juga dalam setiap hal dan pada setiap proses itu ia tetap masih bergerak dalam lingkup penataan asli oleh Sang Pencipta. Dan penataan itupun secara niscaya dan tak terlepaskan berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan menurut gambar Allah”.

Kedua: Manusia hendaknya menjadi tujuan dari kerja. Saat ini, orang cenderung memisahkan tujuan kerja yang hakiki dengan ingin memajukan produksi sehingga membuat orang kehilangan makna kerja. Orang dipaksa untuk bekerja melewati jam kerja yang telah ditetapkan demi memenuhi kebutuhan pasar. Orang mau tidak mau harus mengikuti tuntutan karena takut kehilangan pekerjaan. Atau melihat suatu pekerjaan sebagai alasan untuk membuat jurang pemisah status sosial antara satu dengan yang lain. Hal ini mengakibatkan kerja tidak lagi dimaknai sebagai realisasi manusia yang bermartabat. Manusia modern kebanyakan sudah diperbudak oleh pekerjaannya sendiri. Maka, LE 6 ini sangat diperlukan untuk menempatkan kembali posisi manusia dalam kerja. LE 6 menekankan bahwa selalu manusialah yang merupakan tujuan kerja, entah kerja mana pun yang dijalankannya – juga kalau tatanan nilai pada umumnya menganggap sebagai sekedar ‘pengabdian’ belaka, sebagai kerja yang sangat monoton, bahkan kerja yang paling mengasingkan.[34] Dapat disimpulkan bahwa kerja harus ditujukan pada manusia sebagai matra subyektifnya.

V. Kesimpulan

Melihat keseluruhan isi dan pembahasan ensiklik LE 6 ini, penulis melihat bahwa manusia mendapat posisi penting dan tidak tergantikan. Manusia sebagai subyek kerja adalah citra Allah yang ikut serta mengemban kerja Allah. Dengan bekerja, manusia semakin merealisasikan dirinya dan memuliakan Allah. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia seringkali kehilangan identitasnya karena tenggelam dalam kerja setiap hari. Manusia diperbudak dengan menjadi hamba kerja, baik oleh keadaan dirinya maupun paksaan orang lain. Oleh sebab itu, Paus Yohanes Paulus II menghimbau agar setiap orang melihat kembali dirinya dalam ranah kerja. Hal yang harus dipahami adalah bahwa kerja itu untuk manusia dan bukan manusia untuk kerja.

LE 6 menekankan bahwa dimensi subyektif kerja haruslah ditempatkan dalam posisi yang pertama, lantas setelah itu dimensi obyektif. Dengan meletakkan poin subyektif, hal yang ingin ditegaskan bahwa manusia adalah subyek yang otonom dan bebas. Dia adalah pribadi yang memiliki harkat dan martabat yang harus dihargai, apapun yang menjadi pekerjaannya. Dengan demikian, manusia mampu menjadi saksi “Injil Kerja” yang dibawa oleh Yesus Kristus kepada semua orang.

DAFTAR PUSTAKA

Aman, Peter C. OFM. Mengenal Ajaran Sosial Gereja: Laborem Exercens Yohanes Paulus II, dalam Gita Sang Surya, Vol. 6, No.4, Juli-Agustus 2011.

_______________________, Vol. 6, No.5, September-Oktober 2011.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2005.

*

Kieser, Bernard. Solidaritas: 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius. 1992.

Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian. Kompendium Ajaran Sosial Gereja. Terj. Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung. Maumere: Penerbit Ledalero. 1999.

Paus Yohanes Paulus II. Centesimus Annus, dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1999.

___________________. Laborem Exercens, dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1999.





[1] Bdk. Peter C. Aman, OFM, Mengenal Ajaran Sosial Gereja: Laborem Exercens Yohanes Paulus II, dalam Gita Sang Surya, Vol. 6, No.4, Juli-Agustus 2011, hlm. 24.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Bdk. Bernard Kieser, Solidaritas: 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 74.

[9] Ibid.

[10]Ibid.

[11] Ibid, hlm. 152.

[12] Peter C. Aman, OFM, Mengenal Ajaran Sosial Gereja: Laborem Exercens Yohanes Paulus II, dalam Gita Sang Surya, Vol. 6, No.5, September-Oktober 2011, hlm. 26.

[13] Bdk. Bernard Kieser, Op.Cit, Hlm. 153.

[14] Paus Yohanes Paulus II, Laborem Exercens (Dengan Bekerja), dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai dengan Centesimus Annus (terj. R. Hardawiryana), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999, hlm. 667. Sebutan Laborem Exercens untuk kutipan selanjutnya disingkat LE.

[15] Bdk. Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian. Kompendium Ajaran Sosial Gereja. Terj. Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung. Maumere: Penerbit Ledalero, 1999, hlm 188. Pernyataan ini terdapat dalam nomor 270. Selanjutnya disingkat Kompendium ASG disusul dengan nomor yang dikutip.

[16] Ibid.

[17] LE 6

[18] LE 6

[19] LE 6

[20] LE 6

[21] Peter C. Aman, OFM, Op.Cit. Hlm. 26

[22] Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2005, hlm. 450.

[23]Kompendium ASG 255.

[24] Bdk. Lorens Bagus, Op.Cit, hlm. 451

[25] Ibid.

[26] Kompendium ASG 271.

[27] LE 6

[28] Kompendium ASG 274.

[29] LE 6

[30] LE 4

[31] CA 31

[32] LE 4

[33] Peter C. Aman, OFM, Op.Cit. Hlm. 24.

[34] LE 6

Perempuan Dalam Perspektif Teologi Feminis

oleh: Albertus Arif
  1. Perempuan dalam konstruksi masyarakat

Kodrat manusia sebagai ciptaan Allah adalah mengambil bagian dalam karya Allah. Untuk itu, pria dan wanita bersama-sama mengambil peran masing-masing dalam kehidupan setiap hari. Banyak orang berpendapat bahwa pria dan wanita diciptakan dalam derajat yang sama, tetapi dewasa ini kesamaan derajat itu kian luntur. Wanita kian tersisihkan dalam tugas maupun perannya. Wanita kurang dianggap sebagai manusia yang berada di garda depan dan pengambil inisiatif. Tentu pandangan ini perlu dikaji ulang dalam rangka mewujudkan pandangan asali bahwa manusia itu sama dalam pandangan Allah.

Wanita memiliki peran yang berbeda. Itu jelas tampak dalam kehidupan berkeluarga. Peran wanita sebagai ibu dan pria sebagai ayah bagi anak-anak mereka sangat menonjol serta saling melengkapi. Tidaklah mengherankan jikalau salah satu peran itu hilang, keluarga akan mengalami suatu pasang surut. Anak-anak akan kehilangan figur seorang ibu yang mengayomi dan memberikan kelembutan yang belum tentu dapat diberikan oleh ayah. Itulah bukti konkret yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari bahwa pria dan wanita saling melengkapi.

Seringkali kita mendapat kesan bahwa perbedaan fisik menjadi alasan bagi sebagian orang untuk saling membeda-bedakan. Fisik wanita berbeda dari fisik pria. Oleh karena itu, mereka itu berbeda. Pria boleh melakukan kegiatan ini, wanita tidak boleh melakukannya. Wanita harus melakukan itu, tetapi pria tidak harus melakukannya. Ternyata di sini kita dapat melihat bahwa nilai-nilai kultural ikut membentuk pola pikir dan tindakan antara manusia laki-laki dan perempuan. Manusia laki-laki dikenalkan bagaimana cara menghayati kelaki-lakian mereka, sedangkan perempuan dikenalkan dengan bagaimana cara menghayati kewanitaan mereka. jadi, dalam proses pembentukan diri pun ada suatu pemilahan, suatu pembedaan yang bergantung dari jenis kelamin[1].

Kitab Kejadian pada awalnya menyatakan bahwa Allah menjadikan wanita sebagai penolong bagi pria. Dia melengkapi pria karena “Adam tidak menemukan penolong yang sepadan dengannya.” namun, saat ini dalam kenyataannya, ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini tentu saja akan mengarah kepada sikap dan pandangan pria yang memandang wanita sebagai objek. Padahal, wanita bukanlah sebuah objek. “kondisi relasi perempuan dan laki-laki yang kita alami sekarang ini adalah relasi subordinasi. Kedudukan yang menciptakan diskriminasi ini bermula dari sosialisasi peran manusia yang dibuat oleh masyarakat dan melembaga menjadi suatu konstruksi sosial yang dilatarbelakangi oleh ideologi gender. Gender dapat dipahami melalui pengertian bahwa manusia lahir sebagai perempuan dan laki-laki yang dipersiapkan untuk menjadi perempuan dewasa dan laki-laki dewasa, jadi mereka ‘dikonstruksi’”.[2]

Pergumulan wanita dalam kehidupan bermasyarakat tidak lepas dari batas-batas lingkungannya. Wanita yang aktif dan ikut berperan serta menjadi tolok ukur yang memajukan setiap lapisan masyarakat. Tetapi, masyarakat juga menentukan batas-batas yang melingkungi peran wanita. Batas ini membantu wanita untuk menentukan mana yang baik dan berguna serta mana yang baik dan kurang berguna bagi dirinya.

Gereja melihat bahwa tindakan diskriminasi selalu menjadi konsekuensi logis dari adanya pengkotak-kotakan antara peran pria dan wanita. Dalam ajarannya, Gereja menentang bentuk-bentuk ketidakadilan ini dengan mengeluarkan sebuah dokumen yang isinya menyatakan bahwa perempuan tidak selayaknya menjadi ”obyek” sehingga merendahkan martabat mereka. Dokumen itu bunyinya demikian “memang karena pelbagai kemampuan fisik maupun kemacam-ragaman daya kekuatan intelektual dan moral tidak dapat semua orang disamakan. Tetapi setiap cara diskriminasi dalam hak-hak asasi pribadi, entah bersifat sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan maksud Allah. Sebab sungguh layak disesalkan, bahwa hak-hak asasi pribadi itu belum di mana-mana dipertahankan secara utuh dan aman. Seperti bila seorang wanita tidak menempuh status hidupnya, atau untuk menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan yang sama seperti dipandang wajar bagi pria” (Gaudium et spes, 29).

  1. Perempuan sebagai pelengkap laki-laki

Marie Claire Barth-Frommel, seorang teolog perempuan yang menganalisis dan mengembangkan wawasannya tentang teologi feminis di Asia mengemukakan pendapatnya demikian, ”Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif, menghasilkan kekayaan, menciptakan budaya, sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, suka memelihara apa yang ada dan meneruskan ketrampilan lama, biasa melayani dan suka dipimpin”.[3] Jika kita mengamati dengan seksama dan teliti, ada banyak hal yang dapat kita pelajari di sini:

a. Laki-laki dipandang sebagai superior atas perempuan. Laki-laki memiliki peran penting yang tidak dapat digantikan oleh perempuan karena sifat-sifat perempuan lebih dilihat sebagai pelengkap.

b. Perempuan hanya bertugas melanjutkan apa yang telah dirintis oleh laki-laki karena pada umumnya laki-laki itu kuat dan pemberani.

c. Laki-laki bertugas untuk memimpin suatu masyarakat yang luas, sedangkan perempuan ditugaskan untuk memelihara rumah tangga dan sekitarnya. Di dalam kalangan atas, seorang perempuan yang menjadi istri pejabat, harus mampu mengimbangi peran suaminya. Ia harus mendampingi suaminya dan menampilkan keanggunan sebagai istri yang baik serta pendidik sopan santun untuk anak-anak.

Barth-Frommel melihat sebuah dalil bahwa manusia sejati adalah laki-laki yang menyebabkan munculnya kecenderungan untuk menilai perempuan dari sudut pandang laki-laki dengan menekankan ”kekurangan-kekurangannya” dibandingkan dengan laki-laki. Akibatnya, hanya laki-laki saja yang dipandang sebagai manusia sejati sementara perempuan hanyalah pelengkap. Dalam naskah penting di bidang hukum, sejarah, filsafat dan agama, sering dipakai istilah ”manusia” dan sebenarnya yang dimaksudkan hanyalah laki-laki dewasa yang mampu menentukan kehidupannya sendiri.[4]

Kecenderungan untuk memahami manusia sebagai laki-laki sudah melekat dalam berbagai bidang. Ini merupakan penghilangan subyek perempuan sebagai seorang manusia yang memiliki eksistensi. Perempuan seharusnya dipandang bukan dari sudut pandang laki-laki tetapi dari sudut pandang perempuan untuk menghindari kekurangan-kekurangannya sebagaimana diungkapkan oleh Barth-Frommel. Namun yang terjadi justru sebaliknya, bahwa perempuan kurang disadari keberadaannya dan malahan dikesampingkan.

Kaum perempuan yang bertindak dan tidak mengikuti alur kehidupan seperti di atas pada dasarnya memiliki resiko bahwa ia tidak memiliki pelindung dan bahkan dikucilkan. Perempuan demikian sebenarnya berusaha agar ia sendiri yang membentuk jati dirinya tanpa tergantung dari pihak laki-laki. Namun, oleh karena lingkungan dan budaya yang sudah dibentuk dalam masyarakat, perempuan lebih sering menjadi korban kekerasan dan perendahan martabat.

  1. Marsinah: Simbol Perendahan Martabat Manusia

Penderitaan adalah sebuah faktor dalam proses pembebasan, bukan sebagai sebuah pengertian penebusan, tetapi sebagai risiko yang diambil seseorang ketika orang tersebut berjuang untuk mengalahkan sistem tidak adil yang menolak perubahan.[5] Orang yang menderita karena sistem yang tidak adil dan bukan karena tindakannya sendiri yang tidak adil berarti dia mewartakan sebuah pembebasan. Pembebasan bagi dirinya sendiri dan sesamanya. Sistem yang tidak adil begitu menyiksa dan menjadikan manusia sebagai barang, tetapi tidak banyak orang yang mampu melawannya. Begitu pula dengan keadaan wanita yang diperlakukan dengan tidak adil. Dia mungkin akan menerima kenyataan tersebut sebagai bagian dari hidupnya yang kurang beruntung tanpa melihat apa yang ada di baliknya. Tetapi seorang yang berani mengambil resiko, ia akan melawan dengan segala daya yang dimilikinya. Justru inilah yang acapkali tidak dapat diterima dengan mudah.

Kita (mungkin) tahu cerita tentang Marsinah. Dia adalah salah satu kaum buruh yang mendapat perlakuan tidak adil dalam lingkungan kerjanya. Sebagai seorang buruh yang digaji rendah, ia mengajak teman-temannya untuk meminta kenaikan gaji. Namun, pimpinan tempat kerjanya tidak mengindahkan tuntutan mereka. Malahan, mereka mendapat perlakuan yang kurang manusiawi. Marsinah disiksa dan dibiarkan mati karena ia telah berani melawan situasi yang mengekangnya. Ia menjadi korban dari kebrutalan manusia yang buta akan keadaan sesamanya.

Marsinah adalah simbol feminisme yang berjuang. Ia berjuang untuk melawan setiap keadaan yang mengekang dan mengurung kebebasan manusia. Tetapi yang didapatnya adalah maut. Kematian adalah batas akhir jeritan kemanusiaan. Ini adalah sebuah ironi. Ketika manusia berteriak selagi hidup, ia kurang didengarkan. Tetapi ketika ia berteriak dalam kematian, suaranya semakin nyaring. Justru ironi inilah yang membuat orang semakin sadar bahwa manusia itu berharga, entah itu pria maupun wanita. Mereka diciptakan untuk saling mengabdi, melengkapi dan mewujudkan keharmonisan berkeluarga.

Ada banyak perempuan dewasa ini yang berjuang seperti Marsinah di luar sana. Mereka tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi rela mengorbankan dirinya bagi keadilan dan kemanusiaan. Perlawanan mereka bukan kepada pribadi-pribadi, tetapi perlawanan kepada sebuah simbol kediktaktoran yang membelenggu setiap orang yang hidup. Mereka tidak mengembangkan sebuah teologi, tetapi mereka berjuang dalam praktik dan kehidupan bagi sesama.

  1. Teologi Feminis: Sebuah Upaya Re-posisi Perempuan

Elizabeth Schlusser Fiorenza, seorang Teolog feminis mengatakan bahwa apabila ingin mengubah kedudukan perempuan, ia harus belajar teologi[6]. Peran perempuan tidak bisa jauh dari teologi karena di sanalah ia dibentuk dan dikonstruksi. Teologi menghadirkan perempuan sebagai mitra Allah bersama dengan laki-laki, namun peran itu semakin terkikis dengan adanya proses budaya kaum laki-laki, khususnya di mana Kitab Suci ada dan dipelajari. Maka tidak mengherankan bahwa Fiorenza mengatakan bahwa kedudukan perempuan ditentukan oleh teologi. Seorang perempuan yang ingin mengubah paradigmanya tentang perempuan maka ia harus belajar teologi. Dengan belajar teologi, ia akan semakin mengenal dan membebaskan dirinya melalui suatu paradigma baru. Ia mengkonstruksi kembali pandangan-pandangan yang selama ini dipahami secara keliru, baik oleh dirinya sendiri maupun kaum perempuan lainnya.

Hal senada ditambahkan oleh seorang teolog yang berasal dari kalangan muslim namun dengan nada yang berbeda dan mendalam. Dia adalah Dr. Asghar Ali Engineer, seorang teolog muslim. Ia berkata, “Perempuan direndahkan ketika yang sosiologis dijadikan teologis. Persoalan utama dalam penelitian yang saya lakukan adalah bahwa banyak situasi sosiologis (seperti superior laki-laki) diubah menjadi kenyataan teologis. Kenyataan ini tetap dipertahankan meski kondisi sosiologisnya sudah berubah. Saya akhirnya memang harus meneliti ribuan hadis dan mencoba menilai isinya berdasarkan ajaran pokok yang terdapat dalam Al Quran.”[7] Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi perempuan karena sisi sosiologi mengalami pergeseran makna menjadi teologi. Apa yang dipelajari oleh disiplin sosiologi kemudian berkembang dan diteguhkan oleh teologi. Dari hal inilah kemudian, teologi feminis mencoba hadir dan menanggapi perempuan serta persoalannya.

Teologi Feminis lahir dari sebuah keprihatinan bahwa perempuan mendapat tidak mendapat tempat yang layak dalam ranah sosial dan budaya. Bagaimana pun juga, perempuan harus ditempatkan kembali sesuai dengan perspektif yang benar sebagaimana yang diungkapkan dalam Kitab Kejadian bahwa pria dan wanita adalah imago Dei, citra Allah. Namun, dewasa ini, perempuan semakin terpojok dengan adanya kultur budaya yang berorientasi pada budaya patriarkhi. Sehingga, “kini muncul refleksi atas peran perempuan menurut iman Kristen. Teori itu hendak menjadi bekal untuk pembaharuan praktis dalam kehidupan gereja dan inilah yang disebut dengan teologi feminis. Ia bukan teologi yang dibangun kaum perempuan saja, tetapi teologi oleh perempuan (dan teman-teman laki-laki)”.[8] Teologi ini kemudian berkembang karena persoalan-persoalan yang terkait dengan perempuan menjadi semakin mengemuka dan membutuhkan solusi untuk mengatasinya.

Perempuan yang terlibat dalam mendeskripsikan kediriannya, harus bisa melihatnya dalam kacamata teologi feminis. Di sinilah, kita bisa mengetahui betapa mendesaknya peran teologi feminis bagi kehidupan perempuan dalam zaman yang terus bergerak ini. Teologi feminis menjadi penting, karena: (1) di dalamnya bisa dilakukan studi secara lebih mendalam dan sistematis atas berbagai ‘tema’ yang ada di dalam agama dalam hubungannya dengan perempuan; (2) melalui kajiannya bisa dilakukan berbagai usaha pencarian atas pendasaran-pendasaran tema perempuan dalam agama; (3) perubahan secara praktis bisa berjalan dengan mengandaikan adanya perubahan paradigma, dalam hal ini teologi feminis (harusnya) mampu menunjukkan dan merumuskan paradigma-paradigma baru itu.[9]

Teologi Feminis memiliki wajah yang berbeda-beda di setiap tempat bergantung dengan kebudayaan. Dapat dipahami bagaimana perbedaan antara kebudayaan Amerika dan Eropa berbeda dengan Asia. Wajah Asia memiliki karakter dan ciri yang khas dibandingkan dengan Teologi Feminis yang dibangun di tempat lain. Perempuan asia memiliki pengalaman yang khas. Karena itulah, kita melihat bagaimana seorang Ursula King menuliskannya dengan secara cermat dan teliti. Ursula King dalam bukunya “Feminist Theology from the Third World. A Reader” mengatakan bahwa: “Feminist theology is deeply rooted in women’s experience; it is marked by commitment and oriented toward personal and social transformation, toward praxis. Feminist theology has been called an advocacy theology concerned with the liberation of women from oppression, guided by the principle of seeking to achieve the full humanity of women. In a Third World context feminist theology expresses itself as a liberation theology in a much stronger sense, as it develops within situations where the oppression of women and the denial of their full humanity often occurs on a much larger scale and to a much greater degree than in the First World[10].

  1. Penutup

Melihat kenyataan yang sedemikian nyata ini, kita menyadari bahwa tugas seorang perempuan tidak sebatas hanya menjadi pelengkap. Ia diciptakan setara derajatnya dengan laki-laki. Untuk itu, kita pantas melihat bahwa perempuan hadir bukan untuk ditindas, diremehkan dan direndahkan martabatnya. Ia hadir untuk dicintai oleh kaum laki-laki dan di antara mereka sendiri.

Teologi feminis yang hadir untuk meletakkan kembali gagasan awal membuka kerangka baru kepada semua orang bahwa saat ini kita harus mengubah paradigma kita. pandangan kita sudah terlajur dicekoki dengan paham yang menyatakan bahwa perempuan itu kelas dua. Ia ada sebagai manusia dengan segala keberadaannya. Sungguh tidaklah etis untuk melihat “kekurangan-kekurangan” perempuan dari sudut pandang laki-laki. mereka seharusnya dipahami dalam konteks perempuan sebagaimana adanya. Perempuan memiliki keunikannya sendiri dan laki-laki memiliki keunikannya sendiri. Semua itu tidak lain menggambarkan keutuhan ciptaan. Laki-laki dan perempuan adalah imago Dei, wajah Allah di dunia.



[1] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis (Terj. Yosef M. Florisan), Maumere: Ledalero, 2002, hlm. 135.

[2] A. Nunuk P. Murniati S., Peranan Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat, dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II. Refleksi dan Tantangan, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hlm.84.

[3] Marie Claire Barth-Frommel, Hati Allah bagaikan Hati seorang Ibu. Pengantar Teologi Feminis, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, hlm., 3-4.

[4] Ibid., hlm. 4

[5] Anne M. Clifford, Lo.cit.

[6] Elizabeth Schussler Fiorenza, In God’s Image dalam Jesus Miriam’s Child Shopia’s Prophet. New York: The Continuum Publishing Co.,1990, hlm.

[7] Kompas, Senin, 8 Agustus 1994.

[8] Marie Claire Barth-Frommel, Op.cit, hlm. 12.

[9] Iswanti, Kodrat yang Bergerak. Gambar, Peran, dan Kedudukan Perempuan dalam Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 234.

[10] Ursula King, Feminist Theology from the Third World. A Reader, London: SPCK, 1994, hlm.3-4.