CIAO INDONESIA

Senin, 13 Desember 2010

ketika hidup menjadi sulit

kita tidak bisa menyangkal bahw hidup terkadang sulit untuk dijalani. seperti sekarang ini, aku menjadi bingung karena ujian sedang berlangsung. aku menjadi begitu bodoh. tak mampu berbuat yang terbaik untuk diriku sendiri. aku hanya ingin berbuat yang terbaik untuk diriku hari ini. tapi jalan untuk menuju ke sana kian terjal. aku tidak menemukan jalan setapak yang biasa kudapati. hanya kekosongan, kehampaan, dan kekeringan hati. aku tidak dapat melihat kebaikan di sana

Kamis, 02 Desember 2010

Natal semakin dekat

pengantar

Apa yang terbayang dalam hati kita saat membayangkan Natal kembali tiba? Membuat kartu untuk orang-orang tercinta? Mencari sesuatu yang spesial bagi diri sendiri? Semua itu sungguh menyenangkan. Apalagi hari raya Natal merupakan suatu moment yang sungguh indah bagi kita. Tapi, sungguhkah itu menjadi prioritas yang terpenting dalam hidup kita? Tak mudah menjawab persoalan ini dengan hanya menjawab sepintas lalu. Bukankah kecenderungan kita untuk menjadikan hari yang spesial ini sebagai waktu untuk menyenangkan diri dan orang-orang yang kita cintai? Natal adalah kegembiraan kita karena menyambut Yesus yang dinanti-nantikan oleh semua orang yang merindukan Dia.

Natal sebentar lagi kita rayakan dalam kemeriahan perayaan ekaristi. Di sana, kita akan mengenangkan kembali peristiwa kelahiran Yesus yang sungguh sederhana. Perayaan ekaristi ini menjadi moment yang menandakan bahwa kita ikut ambil bagian dalam peristiwa agung nan sederhana ini. Kita secara bersama-sama bersatu dan berbagi dalam kegembiraan. Mungkin kita hanya berbeda dalam perasaan, karena kondisi diri kita yang mungkin sedang tidak mood untuk mengikuti misa atau karena ada persoalan yang belum diselesaikan. Namun, satu yang perlu kita siapkan adalah hati yang bersih, hati yang gembira, untuk menyambut kedatangan sang penyelamat yang lahir dalam rupa bayi mungil di palungan.

Tantangan zaman

Zaman kita dikatakan telah mengalami kemajuan. Kemajuan dalam hal apa? Banyak, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Jika kita mengatakan bahwa segala fasilitas yang kita miliki sudah membantu kita untuk bertumbuh, itu baru dikatakan sebagai kemajuan. Tetapi banyak dari kita merasakan bahwa segala fasilitas semakin membuat gaya hidup kita berubah. Semakin kita kehilangan orientasi untuk melangkah. Kita mengalami keterasingan yang mendalam karena kita semakin asyik dengan dunia kita sendiri. Kita bahkan semakin tenggelam dalam kenyamanan dan keegoan kita.

Saat kita mulai mengalami kebosanan dan keterasingan, di saat itulah kita mulai menyadari bahwa kita telah digiring pada suatu wilayah ‘yang lain’. Kita terseret dalam dunia yang hanya mengejar mimpi-mimpi kosong, mimpi-mimpi yang menutup diri kita. Kita tidak lagi terbuka dengan orang-orang di sekitar kita. Suatu keadaan yang terbalik. Saya katakan terbalik karena kita tidak mengenali keberadaan kita. Kita adalah makhluk yang membutuhkan orang lain untuk hidup, ada, dan menjalani kehidupan yang tak pasti ini.

Bayi Yesus yang dilahirkan dalam kesederhaan, mungkinkah itu mampu mencelikkan mata kita bahwa kita sesungguhnya dilahirkan dari orang yang menyayangi kita. Bayi Yesus merasakan kehangatan dan kasih sayang dari ibunya. Ia tidur dalam belaian lembut Maria. Dia tahu bahwa kasih sayang menyejukkan dan menenteramkan. Kita pun dulu pernah merasakan demikian, hanya saja ingatan kita yang terbatas tidak mampu untuk mengembalikan memori indah itu.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa ada sekian bayi yang tidak bisa mendapatkan kasih sayang ini. Jika kita pernah membaca sebuah berita yang sangat mengenaskan dan menimbulkan kesedihan yang mendalam tentang aborsi di Thailand, kita pasti akan mengamini fakta ini. Bahwasanya manusia semakin sulit untuk mendapatkan kasih sayang. Bayangkan lebih dari dua ribu bayi yang tak bersalah harus melayang jiwanya. Inikah tanda bahwa manusia semakin menemukan dan mencintai dirinya ataukah manusia yang karena perbuatannya berusaha keluar dari persoalan hidupnya dengan menghalalkan segala cara? Di mana keadilan Tuhan? Di mana nurani para ibu? Di mana rasa kasih sayang para ibu yang telah mengandung mereka? Apakah mereka lantas membiarkan mereka mati bagaikan tak pernah ada? Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Pertanyaan ini muncul begitus saja akibat sisi afektif kita yang tersentuh. Kejahatan selalu menjadi kekurangan dari sebuah kebaikan. Kebaikan menjadi terpecah dan tidak pernah utuh kembali. Citra Allah terkoyak.

Momen Natal menjadi tidak utuh tanpa kehadiran manusia yang mengalami kedamaian. Kedamaian yang seringkali dicari oleh manusia hanya dicari di luar dirinya. Ia melekatkan diri pada kedamaian yang ditawarkan oleh dunia. Sekali lagi kita pantas bertanya, kedamaian macam apa yang mau ditawarkan kepada dunia? Selalu dan selalu jawabannya adalah kedamaian yang bersyarat. Kedamaian yang harus dibayar dengan mahal demi mengalaminya. Hal yang demikian sangat kontras dengan peristiwa Natal. Natal adalah saat untuk mengkondisikan diri kita kembali ke dimensi terdalam hidup kita, bahwa Tuhan yang agung mau hidup sebagai manusia dan tinggal di tengah-tengah kita. Pada saat itulah kita seharusnya menjadi sadar bahwa Tuhan sungguh-sungguh merasakan penderitaan kita dan menjadi senasib dengan kita. Ia tahu segala kelemahan dan kekurangan, tahu apa itu kemiskinan, dan kepapaan. Ia tidak berdaya dan hanya menggantungkan diri pada Maria dan Yosef.

Bayi Yesus menyadarkan kita bahwa dengan menyandarkan diri pada sang bunda, Yesus menjadi aman. Demikian pun sang bunda, ia mempunyai ikatan batin erat dengan sang putra. Sang bunda yang selalu mencintai buah hatinya dengan segala keadaanya. Tanpa syarat dan pamrih.

Makna kelahiran

Baiklah kalau kita sejenak membaca pernyataan atau lebih tepatnya sebuah puisi seputar makna di balik kelahiran Yesus:

Mengapa Aku dilahirkan?

Aku dilahirkan dalam sebuah kandang, supaya kamu dapat belajar untuk memandang suci semua tempat di manapun.

Aku dilahirkan miskin, supaya kamu dapat mengenal Aku sebagai sumber utama segalanya.

Aku dilahirkan lemah, supaya kamu tidak pernah boleh takut kepada-Ku.

Aku dilahirkan untuk mengasihi, supaya kamu tidak pernah boleh meragukan cinta kasih-Ku.

Aku dilahirkan pada malam hari, supaya kamu percaya bahwa aku dapat memberi terang kepada segala kenyataan hidup.

Aku dilahirkan sebagai manusia, supaya kamu tidak pernah boleh menjadi malu atas dirimu-sendiri.

Aku dilahirkan untuk diadili, supaya kamu dapat mengetahui bagaimana menghadapi kesulitan-kesulitanmu.

Aku dilahirkan dalam kesederhanaan, supaya kamu berhenti untuk menjadi bertingkah.

Aku dilahirkan sebagai bagian dari kehidupanmu, untuk membawa setiap orang ke rumah Bapaku ---Lamberto Noben---(Agustinus Sarwanto: 2003)

Puisi indah di atas sesungguhnya menggambarkan bagaimana makna kelahiran Yesus bagi kita di zaman ini. Penulis buku tersebut menyentuh sisi kemanusiaan kita. Kita yang seringkali mengeluh dan cenderung kurang menerima kenyataan diri kita apa adanya. Dengan demikian, kita diajak untuk kembali kepada keluhuran pribadi kita sebagai manusia baru oleh karena kelahiran Yesus bagi penebusan dosa kita. Dan akhirnya, kita diajak untuk memahami bahwa kelahiran Yesus juga membawa kita kembali ke rumah Bapa. Menjadi orang yang sempurna.

Kelahiran selalu merupakan perayaan atas anugerah Allah. Dikatakan sebagai perayaan menunjuk pada bagaimana Allah sesungguhnya berkarya dengan penuh misteri dan keajaiban yang tak terkatakan. Misteri ini menjadi kegembiraan yang selalu dikenang oleh setiap orang. Setiap kita selalu mengenang setiap kelahiran kita masing-masing, misalnya tanggal saat kita lahir ke dunia. Namun sejauh kita menyadari, ada banyak manusia yang justru enggan untuk mengenangnya sebagai anugerah Allah. Mereka serentak mencemooh kelahiran akibat banyaknya penderitaan yang timbul. Untuk apakah aku dilahirkan, jikalau aku hanya merasakan penderitaan di dunia ini? Lebih baik aku mati saja daripada menderita. Kita bisa melihat bagaimana penderitaan menutup mata dan hati mereka akan secercah kebaikan. Justru, mereka terlempar dan terjerumus dalam lembah kenyataan hidup yang pahit dan tidak lagi merasakan kebahagiaan dalam kelahirannya. Lahir dan mati bagaikan dua pintu yang sewajarnya harus dilalui manusia yang tertutup tanpa mampu melihat karya Allah di dalamnya.

Kelahiran kita sesungguhnya membawa misi yang telah ditentukan Allah sebagaimana perjalanan hidup nabi Yeremia. “Sejak dalam kandungan…Aku telah menguduskan engkau…dan menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.” Ucapan ini mempunyai makna yang ilahi bahwa kelahiran kita ada untuk kemuliaan Allah. Kita diutus untuk menjadi ‘nabi’ bagi semua orang yang ada di sekitar kita saat ini dan di sini. Maka, kita perlu mengucap syukur atas anugerah Allah yang indah ini.

Natal untuk siapa?

Judul di atas saya ambil dari majalah Bergema edisi 76 tahun IX Oktober 2003. Saya tertarik dengan judul di atas karena judul itu menggambarkan pergumulan saya. Sebenarnya Natal itu untuk siapa? Untuk saya sajakah? Untuk orang-orang kristiani sajakah? Ataukah untuk semua orang yang merindukan kehadiran sang juru selamat? Pertanyaan ini sangat menggelitik hati saya karena kita memang selalu merayakannya. Tapi, makna yang terdalam dari perayaan ini seringkali kita lupakan.

Kitab Matius mencatat bahwa orang-orang yang diam di seluruh Yerusalem dan Herodes begitu tercengang dengan kedatangan orang-orang majus dari Timur. Mereka mengatakan sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin mereka tahu bahwa seorang raja baru saja dilahirkan, padahal seluruh penduduk Yerusalem tidak mengetahuinya. Herodes yang merupakan antek Roma (kaum penjajah) menjadi gelisah karena kelahiran sang raja baru itu. Maka, kita tahu selanjutnya bagaimana mereka menjadi bingung. Tanpa banyak kata, penulis injil Matius kemudian menulis bahwa beberapa gembala domba yang sudah ada di sana. Orang-orang sederhana dalam masyarakat sosial Yahudi. Orang-orang dari Timur itupun juga menuju ke tempat Yesus dilahirkan dan menyembah Dia sambil mempersembahkan persembahan. Mereka melihat bayi Yesus yang akan menjadi seorang tokoh pembebas bangsa Yahudi dan seluruh manusia.

Natal selalu menjadi momen penting bagi kita saat ini. Maka sudah selayaknya kita menyiapkan hati kita untuk menjadi tempat kelahiran-Nya. Dia harus menjadi Raja atas diri kita. Dia memilih palungan yang menjadi tempat bagi makanan hewan. Hal ini menjadi cerminan bahwa Dia juga memahami bagaimana pun kodisi hati kita saat ini. Hati yang remuk redam, hati yang hancur maupun hati yang dipenuhi dengan kesombongan akan barang-barang material. Dia akan membuat hati kita menjadi suci dan bersih apabila kita mau membuka hati kita untuk Dia.

Penutup

Tanggal 25 Desember hampir dekat. Kita akan merayakannya dengan penuh kegembiraan karena Yesus yang menjadi penyelamat kita lahir. Sebagai satu komunitas, kita akan memiliki kesibukan yang amat besar, mulai menyiapkan dekorasi, koor, teks misa, acara rekreasi bersama dan lain-lain. Namun janganlah kita melupakan hal yang terpenting untuk menyiapkan hati kita masing-masing. Menyiapkan tempat yang terbaik untuk Tuhan yang lahir dalam hati kita. Masihkah di dalam hati kita tersedia ruang untuk bayi Yesus yang nyaman tanpa gangguan keegoisan kita sendiri atau kegaduhan hati kita? Mungkin kita sulit untuk mewujudkannya. Tuhan Yesus tahu bahwa kita masih belum mampu untuk menyiapkan semua itu dengan sempurna. Maka, Diapun rela untuk tidur dalam ruang yang kita sediakan, bahkan dalam palungan, tempat yang menurut kita tidak pantas.

Tuhan Yesus memahami setiap kita yang sungguh berusaha untuk menyambut-Nya. Hanya orang-orang ‘kecil’ dan tersingkir dari kegemerlapan dunia ini yang mampu menangkapnya, seperti halnya para gembala dan para majus. Mereka mampu menangkap peristiwa luhur itu dan datang ke sana. Mereka menyembah-Nya dan memberikan persembahan. Maka, kita pun diundang untuk datang, menyembah, dan menghaturkan persembahan terindah kita untuk Tuhan yang kita cintai. Semoga. Selamat Natal 2010.