CIAO INDONESIA

Selasa, 20 Maret 2012

Perempuan Dalam Perspektif Teologi Feminis

oleh: Albertus Arif
  1. Perempuan dalam konstruksi masyarakat

Kodrat manusia sebagai ciptaan Allah adalah mengambil bagian dalam karya Allah. Untuk itu, pria dan wanita bersama-sama mengambil peran masing-masing dalam kehidupan setiap hari. Banyak orang berpendapat bahwa pria dan wanita diciptakan dalam derajat yang sama, tetapi dewasa ini kesamaan derajat itu kian luntur. Wanita kian tersisihkan dalam tugas maupun perannya. Wanita kurang dianggap sebagai manusia yang berada di garda depan dan pengambil inisiatif. Tentu pandangan ini perlu dikaji ulang dalam rangka mewujudkan pandangan asali bahwa manusia itu sama dalam pandangan Allah.

Wanita memiliki peran yang berbeda. Itu jelas tampak dalam kehidupan berkeluarga. Peran wanita sebagai ibu dan pria sebagai ayah bagi anak-anak mereka sangat menonjol serta saling melengkapi. Tidaklah mengherankan jikalau salah satu peran itu hilang, keluarga akan mengalami suatu pasang surut. Anak-anak akan kehilangan figur seorang ibu yang mengayomi dan memberikan kelembutan yang belum tentu dapat diberikan oleh ayah. Itulah bukti konkret yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari bahwa pria dan wanita saling melengkapi.

Seringkali kita mendapat kesan bahwa perbedaan fisik menjadi alasan bagi sebagian orang untuk saling membeda-bedakan. Fisik wanita berbeda dari fisik pria. Oleh karena itu, mereka itu berbeda. Pria boleh melakukan kegiatan ini, wanita tidak boleh melakukannya. Wanita harus melakukan itu, tetapi pria tidak harus melakukannya. Ternyata di sini kita dapat melihat bahwa nilai-nilai kultural ikut membentuk pola pikir dan tindakan antara manusia laki-laki dan perempuan. Manusia laki-laki dikenalkan bagaimana cara menghayati kelaki-lakian mereka, sedangkan perempuan dikenalkan dengan bagaimana cara menghayati kewanitaan mereka. jadi, dalam proses pembentukan diri pun ada suatu pemilahan, suatu pembedaan yang bergantung dari jenis kelamin[1].

Kitab Kejadian pada awalnya menyatakan bahwa Allah menjadikan wanita sebagai penolong bagi pria. Dia melengkapi pria karena “Adam tidak menemukan penolong yang sepadan dengannya.” namun, saat ini dalam kenyataannya, ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini tentu saja akan mengarah kepada sikap dan pandangan pria yang memandang wanita sebagai objek. Padahal, wanita bukanlah sebuah objek. “kondisi relasi perempuan dan laki-laki yang kita alami sekarang ini adalah relasi subordinasi. Kedudukan yang menciptakan diskriminasi ini bermula dari sosialisasi peran manusia yang dibuat oleh masyarakat dan melembaga menjadi suatu konstruksi sosial yang dilatarbelakangi oleh ideologi gender. Gender dapat dipahami melalui pengertian bahwa manusia lahir sebagai perempuan dan laki-laki yang dipersiapkan untuk menjadi perempuan dewasa dan laki-laki dewasa, jadi mereka ‘dikonstruksi’”.[2]

Pergumulan wanita dalam kehidupan bermasyarakat tidak lepas dari batas-batas lingkungannya. Wanita yang aktif dan ikut berperan serta menjadi tolok ukur yang memajukan setiap lapisan masyarakat. Tetapi, masyarakat juga menentukan batas-batas yang melingkungi peran wanita. Batas ini membantu wanita untuk menentukan mana yang baik dan berguna serta mana yang baik dan kurang berguna bagi dirinya.

Gereja melihat bahwa tindakan diskriminasi selalu menjadi konsekuensi logis dari adanya pengkotak-kotakan antara peran pria dan wanita. Dalam ajarannya, Gereja menentang bentuk-bentuk ketidakadilan ini dengan mengeluarkan sebuah dokumen yang isinya menyatakan bahwa perempuan tidak selayaknya menjadi ”obyek” sehingga merendahkan martabat mereka. Dokumen itu bunyinya demikian “memang karena pelbagai kemampuan fisik maupun kemacam-ragaman daya kekuatan intelektual dan moral tidak dapat semua orang disamakan. Tetapi setiap cara diskriminasi dalam hak-hak asasi pribadi, entah bersifat sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan maksud Allah. Sebab sungguh layak disesalkan, bahwa hak-hak asasi pribadi itu belum di mana-mana dipertahankan secara utuh dan aman. Seperti bila seorang wanita tidak menempuh status hidupnya, atau untuk menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan yang sama seperti dipandang wajar bagi pria” (Gaudium et spes, 29).

  1. Perempuan sebagai pelengkap laki-laki

Marie Claire Barth-Frommel, seorang teolog perempuan yang menganalisis dan mengembangkan wawasannya tentang teologi feminis di Asia mengemukakan pendapatnya demikian, ”Dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki-laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif, menghasilkan kekayaan, menciptakan budaya, sanggup membuat perencanaan. Sedangkan kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, suka memelihara apa yang ada dan meneruskan ketrampilan lama, biasa melayani dan suka dipimpin”.[3] Jika kita mengamati dengan seksama dan teliti, ada banyak hal yang dapat kita pelajari di sini:

a. Laki-laki dipandang sebagai superior atas perempuan. Laki-laki memiliki peran penting yang tidak dapat digantikan oleh perempuan karena sifat-sifat perempuan lebih dilihat sebagai pelengkap.

b. Perempuan hanya bertugas melanjutkan apa yang telah dirintis oleh laki-laki karena pada umumnya laki-laki itu kuat dan pemberani.

c. Laki-laki bertugas untuk memimpin suatu masyarakat yang luas, sedangkan perempuan ditugaskan untuk memelihara rumah tangga dan sekitarnya. Di dalam kalangan atas, seorang perempuan yang menjadi istri pejabat, harus mampu mengimbangi peran suaminya. Ia harus mendampingi suaminya dan menampilkan keanggunan sebagai istri yang baik serta pendidik sopan santun untuk anak-anak.

Barth-Frommel melihat sebuah dalil bahwa manusia sejati adalah laki-laki yang menyebabkan munculnya kecenderungan untuk menilai perempuan dari sudut pandang laki-laki dengan menekankan ”kekurangan-kekurangannya” dibandingkan dengan laki-laki. Akibatnya, hanya laki-laki saja yang dipandang sebagai manusia sejati sementara perempuan hanyalah pelengkap. Dalam naskah penting di bidang hukum, sejarah, filsafat dan agama, sering dipakai istilah ”manusia” dan sebenarnya yang dimaksudkan hanyalah laki-laki dewasa yang mampu menentukan kehidupannya sendiri.[4]

Kecenderungan untuk memahami manusia sebagai laki-laki sudah melekat dalam berbagai bidang. Ini merupakan penghilangan subyek perempuan sebagai seorang manusia yang memiliki eksistensi. Perempuan seharusnya dipandang bukan dari sudut pandang laki-laki tetapi dari sudut pandang perempuan untuk menghindari kekurangan-kekurangannya sebagaimana diungkapkan oleh Barth-Frommel. Namun yang terjadi justru sebaliknya, bahwa perempuan kurang disadari keberadaannya dan malahan dikesampingkan.

Kaum perempuan yang bertindak dan tidak mengikuti alur kehidupan seperti di atas pada dasarnya memiliki resiko bahwa ia tidak memiliki pelindung dan bahkan dikucilkan. Perempuan demikian sebenarnya berusaha agar ia sendiri yang membentuk jati dirinya tanpa tergantung dari pihak laki-laki. Namun, oleh karena lingkungan dan budaya yang sudah dibentuk dalam masyarakat, perempuan lebih sering menjadi korban kekerasan dan perendahan martabat.

  1. Marsinah: Simbol Perendahan Martabat Manusia

Penderitaan adalah sebuah faktor dalam proses pembebasan, bukan sebagai sebuah pengertian penebusan, tetapi sebagai risiko yang diambil seseorang ketika orang tersebut berjuang untuk mengalahkan sistem tidak adil yang menolak perubahan.[5] Orang yang menderita karena sistem yang tidak adil dan bukan karena tindakannya sendiri yang tidak adil berarti dia mewartakan sebuah pembebasan. Pembebasan bagi dirinya sendiri dan sesamanya. Sistem yang tidak adil begitu menyiksa dan menjadikan manusia sebagai barang, tetapi tidak banyak orang yang mampu melawannya. Begitu pula dengan keadaan wanita yang diperlakukan dengan tidak adil. Dia mungkin akan menerima kenyataan tersebut sebagai bagian dari hidupnya yang kurang beruntung tanpa melihat apa yang ada di baliknya. Tetapi seorang yang berani mengambil resiko, ia akan melawan dengan segala daya yang dimilikinya. Justru inilah yang acapkali tidak dapat diterima dengan mudah.

Kita (mungkin) tahu cerita tentang Marsinah. Dia adalah salah satu kaum buruh yang mendapat perlakuan tidak adil dalam lingkungan kerjanya. Sebagai seorang buruh yang digaji rendah, ia mengajak teman-temannya untuk meminta kenaikan gaji. Namun, pimpinan tempat kerjanya tidak mengindahkan tuntutan mereka. Malahan, mereka mendapat perlakuan yang kurang manusiawi. Marsinah disiksa dan dibiarkan mati karena ia telah berani melawan situasi yang mengekangnya. Ia menjadi korban dari kebrutalan manusia yang buta akan keadaan sesamanya.

Marsinah adalah simbol feminisme yang berjuang. Ia berjuang untuk melawan setiap keadaan yang mengekang dan mengurung kebebasan manusia. Tetapi yang didapatnya adalah maut. Kematian adalah batas akhir jeritan kemanusiaan. Ini adalah sebuah ironi. Ketika manusia berteriak selagi hidup, ia kurang didengarkan. Tetapi ketika ia berteriak dalam kematian, suaranya semakin nyaring. Justru ironi inilah yang membuat orang semakin sadar bahwa manusia itu berharga, entah itu pria maupun wanita. Mereka diciptakan untuk saling mengabdi, melengkapi dan mewujudkan keharmonisan berkeluarga.

Ada banyak perempuan dewasa ini yang berjuang seperti Marsinah di luar sana. Mereka tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi rela mengorbankan dirinya bagi keadilan dan kemanusiaan. Perlawanan mereka bukan kepada pribadi-pribadi, tetapi perlawanan kepada sebuah simbol kediktaktoran yang membelenggu setiap orang yang hidup. Mereka tidak mengembangkan sebuah teologi, tetapi mereka berjuang dalam praktik dan kehidupan bagi sesama.

  1. Teologi Feminis: Sebuah Upaya Re-posisi Perempuan

Elizabeth Schlusser Fiorenza, seorang Teolog feminis mengatakan bahwa apabila ingin mengubah kedudukan perempuan, ia harus belajar teologi[6]. Peran perempuan tidak bisa jauh dari teologi karena di sanalah ia dibentuk dan dikonstruksi. Teologi menghadirkan perempuan sebagai mitra Allah bersama dengan laki-laki, namun peran itu semakin terkikis dengan adanya proses budaya kaum laki-laki, khususnya di mana Kitab Suci ada dan dipelajari. Maka tidak mengherankan bahwa Fiorenza mengatakan bahwa kedudukan perempuan ditentukan oleh teologi. Seorang perempuan yang ingin mengubah paradigmanya tentang perempuan maka ia harus belajar teologi. Dengan belajar teologi, ia akan semakin mengenal dan membebaskan dirinya melalui suatu paradigma baru. Ia mengkonstruksi kembali pandangan-pandangan yang selama ini dipahami secara keliru, baik oleh dirinya sendiri maupun kaum perempuan lainnya.

Hal senada ditambahkan oleh seorang teolog yang berasal dari kalangan muslim namun dengan nada yang berbeda dan mendalam. Dia adalah Dr. Asghar Ali Engineer, seorang teolog muslim. Ia berkata, “Perempuan direndahkan ketika yang sosiologis dijadikan teologis. Persoalan utama dalam penelitian yang saya lakukan adalah bahwa banyak situasi sosiologis (seperti superior laki-laki) diubah menjadi kenyataan teologis. Kenyataan ini tetap dipertahankan meski kondisi sosiologisnya sudah berubah. Saya akhirnya memang harus meneliti ribuan hadis dan mencoba menilai isinya berdasarkan ajaran pokok yang terdapat dalam Al Quran.”[7] Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi perempuan karena sisi sosiologi mengalami pergeseran makna menjadi teologi. Apa yang dipelajari oleh disiplin sosiologi kemudian berkembang dan diteguhkan oleh teologi. Dari hal inilah kemudian, teologi feminis mencoba hadir dan menanggapi perempuan serta persoalannya.

Teologi Feminis lahir dari sebuah keprihatinan bahwa perempuan mendapat tidak mendapat tempat yang layak dalam ranah sosial dan budaya. Bagaimana pun juga, perempuan harus ditempatkan kembali sesuai dengan perspektif yang benar sebagaimana yang diungkapkan dalam Kitab Kejadian bahwa pria dan wanita adalah imago Dei, citra Allah. Namun, dewasa ini, perempuan semakin terpojok dengan adanya kultur budaya yang berorientasi pada budaya patriarkhi. Sehingga, “kini muncul refleksi atas peran perempuan menurut iman Kristen. Teori itu hendak menjadi bekal untuk pembaharuan praktis dalam kehidupan gereja dan inilah yang disebut dengan teologi feminis. Ia bukan teologi yang dibangun kaum perempuan saja, tetapi teologi oleh perempuan (dan teman-teman laki-laki)”.[8] Teologi ini kemudian berkembang karena persoalan-persoalan yang terkait dengan perempuan menjadi semakin mengemuka dan membutuhkan solusi untuk mengatasinya.

Perempuan yang terlibat dalam mendeskripsikan kediriannya, harus bisa melihatnya dalam kacamata teologi feminis. Di sinilah, kita bisa mengetahui betapa mendesaknya peran teologi feminis bagi kehidupan perempuan dalam zaman yang terus bergerak ini. Teologi feminis menjadi penting, karena: (1) di dalamnya bisa dilakukan studi secara lebih mendalam dan sistematis atas berbagai ‘tema’ yang ada di dalam agama dalam hubungannya dengan perempuan; (2) melalui kajiannya bisa dilakukan berbagai usaha pencarian atas pendasaran-pendasaran tema perempuan dalam agama; (3) perubahan secara praktis bisa berjalan dengan mengandaikan adanya perubahan paradigma, dalam hal ini teologi feminis (harusnya) mampu menunjukkan dan merumuskan paradigma-paradigma baru itu.[9]

Teologi Feminis memiliki wajah yang berbeda-beda di setiap tempat bergantung dengan kebudayaan. Dapat dipahami bagaimana perbedaan antara kebudayaan Amerika dan Eropa berbeda dengan Asia. Wajah Asia memiliki karakter dan ciri yang khas dibandingkan dengan Teologi Feminis yang dibangun di tempat lain. Perempuan asia memiliki pengalaman yang khas. Karena itulah, kita melihat bagaimana seorang Ursula King menuliskannya dengan secara cermat dan teliti. Ursula King dalam bukunya “Feminist Theology from the Third World. A Reader” mengatakan bahwa: “Feminist theology is deeply rooted in women’s experience; it is marked by commitment and oriented toward personal and social transformation, toward praxis. Feminist theology has been called an advocacy theology concerned with the liberation of women from oppression, guided by the principle of seeking to achieve the full humanity of women. In a Third World context feminist theology expresses itself as a liberation theology in a much stronger sense, as it develops within situations where the oppression of women and the denial of their full humanity often occurs on a much larger scale and to a much greater degree than in the First World[10].

  1. Penutup

Melihat kenyataan yang sedemikian nyata ini, kita menyadari bahwa tugas seorang perempuan tidak sebatas hanya menjadi pelengkap. Ia diciptakan setara derajatnya dengan laki-laki. Untuk itu, kita pantas melihat bahwa perempuan hadir bukan untuk ditindas, diremehkan dan direndahkan martabatnya. Ia hadir untuk dicintai oleh kaum laki-laki dan di antara mereka sendiri.

Teologi feminis yang hadir untuk meletakkan kembali gagasan awal membuka kerangka baru kepada semua orang bahwa saat ini kita harus mengubah paradigma kita. pandangan kita sudah terlajur dicekoki dengan paham yang menyatakan bahwa perempuan itu kelas dua. Ia ada sebagai manusia dengan segala keberadaannya. Sungguh tidaklah etis untuk melihat “kekurangan-kekurangan” perempuan dari sudut pandang laki-laki. mereka seharusnya dipahami dalam konteks perempuan sebagaimana adanya. Perempuan memiliki keunikannya sendiri dan laki-laki memiliki keunikannya sendiri. Semua itu tidak lain menggambarkan keutuhan ciptaan. Laki-laki dan perempuan adalah imago Dei, wajah Allah di dunia.



[1] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis (Terj. Yosef M. Florisan), Maumere: Ledalero, 2002, hlm. 135.

[2] A. Nunuk P. Murniati S., Peranan Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat, dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II. Refleksi dan Tantangan, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hlm.84.

[3] Marie Claire Barth-Frommel, Hati Allah bagaikan Hati seorang Ibu. Pengantar Teologi Feminis, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, hlm., 3-4.

[4] Ibid., hlm. 4

[5] Anne M. Clifford, Lo.cit.

[6] Elizabeth Schussler Fiorenza, In God’s Image dalam Jesus Miriam’s Child Shopia’s Prophet. New York: The Continuum Publishing Co.,1990, hlm.

[7] Kompas, Senin, 8 Agustus 1994.

[8] Marie Claire Barth-Frommel, Op.cit, hlm. 12.

[9] Iswanti, Kodrat yang Bergerak. Gambar, Peran, dan Kedudukan Perempuan dalam Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 234.

[10] Ursula King, Feminist Theology from the Third World. A Reader, London: SPCK, 1994, hlm.3-4.

1 komentar: