I.
Pengantar
Kaum muda memiliki peran yang
penting bagi masa depan Gereja. Mereka adalah masa depan Gereja yang kelak akan
melanjutkan tongkat estafet. Di samping sebagai generasi penerus, mereka
mempunyai kekayaan pribadi yang masih harus dikembangkan. Potensi yang mereka
miliki tidak terhitung demi kemajuan dirinya dan orang lain. Hal ini tidak
lepas dari keikutsertaan kaum dewasa yang telah memiliki pengalaman dalam
bidang pendidikan kaum muda. Usaha ini tidak mudah karena kaum muda memiliki
dinamika tersendiri dan hidup dalam konteks zaman yang sedang berlangsung.
Namun, pendidikan dan pembinaan yang baik tentunya akan membuat kaum muda
semakin menemukan jati diri yang sesungguhnya untuk membangun dan mengembangkan
Gereja.
Pertanyaan yang seringkali muncul
berkaitan dengan tema di atas adalah bagaimana membina kaum muda sehingga
mereka dapat menjadi rasul-rasul di zaman ini? Bagaimana kriteria ideal seorang
pembina yang mampu menumbuhkan semangat dalam diri kaum muda untuk maju? Tentu
hal ini bukanlah perkara yang mudah. Pembinaan kaum muda telah sering menjadi
agenda kegiatan yang cukup relevan di masa sekarang. Di banyak paroki, kaum
muda dijadikan rekan untuk bekerja sama. Namun di tempat lain, keberadaan
mereka masih kurang diperhitungkan.
Di samping itu cara pandang yang
kurang tepat seringkali dialamatkan kepada kaum muda. Mereka biasanya dilihat
masih belum mampu untuk memikul sebuah tanggung jawab dalam sebuah organisasi
maupun dalam kegiatan gerejani. Namun, kesadaran mereka untuk memberikan
perhatian akan kebutuhan Gereja harus mendapat tempat. Dengan kata lain, mereka
perlu didengarkan dan malahan perlu diberi wadah untuk mengembangkan diri mereka.
Bukan dengan kekerasan atau sikap ketidakpercayaan, tetapi dengan sikap persahabatan
dan dalam semangat cinta kasih. Tentunya kita patut juga mencari tahu aktor di
balik pembinaan kaum muda ini. Di sinilah, peran pembina sungguh diperlukan.
Sebab, dari pembinaan yang kokoh dan kuatlah yang mampu membuka potensi kaum
muda untuk bangkit dan bergerak.Untuk itu, kaum muda membutuhkan pembina yang
mampu memberikan wawasan dan penghayatan yang baik dalam kehidupan menggereja
dan bermasyarakat. Hal ini ditekankan dengan sangat baik dalam Dekrit tentang
Kerasulan Awam art. 13:
Hendaknya kaum dewasa dalam suasana
persahabatan berusaha menjalin dialog dengan kaum muda, sehingga dengan
mengatasi jarak umur mungkinlah kedua pihak saling mengenal, dan saling bertukar
kekayaan masing-masing. Hendaknya kaum dewasa terutama dengan teladan, dan bila
ada kesempatan dengan nasehat bijaksana serta bantuan yang tepat guna,
mendorong kaum muda untuk merasul. Di pihak lain hendaknya kaum muda memupuk
sikap hormat dan kepercayaan terhadap kaum dewasa. Dan meskipun secara alamiah
mereka cenderung ke arah hal-hal baru, hendaknya mereka menghargai
tradisi-tradisi sebagaimana harusnya.[1]
Kaum muda diakui sebagai kekuatan
yang amat penting dalam masyarakat zaman sekarang. Situasi hidup, sikap-sikap
batin serta hubungan-hubungan mereka dengan keluarga mereka sendiri telah
banyak berubah.[2]
Kenyataan ini membuktikan bahwa kaum muda adalah potensi yang sungguh perlu
dipersiapkan melalui usaha-usaha yang serius dan bertanggung jawab oleh
pelbagai pihak. Kepribadian kaum muda dapat dikatakan perlu mendapat perhatian,
terutama dalam mencapai kematangan fisik, cara pandang dan lain sebagainya.
Mereka masih harus melihat dan belajar untuk menemukan solusi untuk menata
hidupnya dan terutama belajar mengembangkan diri demi kebutuhan Gereja.
Untuk itu, kaum muda perlu mendapat
perhatian dari semua pihak, baik oleh keluarga, para petugas maupun pelayan
Gereja, pendidik dan guru dalam institusi pendidikan. Perhatian tersebut
dikatakan sebagai kegiatan kerasulan yang diperuntujkan demi kaum muda. Melalui
peran pembina, kaum muda diajak untuk menggali potensi mereka untuk bertumbuh
dan berkembang.
II.
Situasi
dan Lingkup Kaum Muda
Ada banyak kesulitan untuk
menentukan dengan pasti tahap perkembangan kaum muda, sebab perkembangannya
(batas awal dan akhir masa muda), sebab perkembangan periode-periode tersebut
lebih merupakan peralihan pengalaman serta interpretasinya daripada peralihan
kronologis.[3]
Kaum muda memiliki dinamikanya tersendiri. Mereka mengalami masa-masa
perkembangan yang seringkali tidak dapat dimengerti oleh diri mereka sendiri.
Ada dua hal yang dapat kita lihat, yakni dari faktor yang berasal dari dalam
diri sendiri dan yang berasal dari luar diri sendiri. Adapun yang menjadi faktor
dari dalam diri sendiri misalnya perkembangan fisik, psikologis, mental,
spiritual, dan intelektual. Kaum muda harus menghadapi dinamika ini dalam
perkembangan ke tahap dewasa.
Sedangkan yang berasal dari luar
diri sendiri, yaitu hubungan dengan keluarga, teman sebaya, dan lingkungan
sekitar. Hal-hal ini ikut membentuk kepribadian dan arah perkembangan menuju
kedewasaan. Hubungan-hubungan di atas seringkali dipandang sebagai pembentuk
karakter. Seorang pemuda yang tidak mampu bergaul dengan lingkungannya akan kesulitan
dalam mengamati dan mengambil sikap kritis dengan keadaan lingkungan
sekitarnya.
Dari situasi khusus kaum muda ini,
hal-hal yang menonjol dapat kita lihat antara lain bahwa adanya proses
pematangan diri.[4]
Proses pematangan diri ini adalah suatu tahap di mana kaum muda sedang
bertumbuh menuju kepribadian dewasa manusiawi, secara integral mencakup fisik,
mental, emosional, rohani dan intelektual.[5]
Kita bisa mengamati bahwa kompleksitas kaum muda sangatlah tampak. Sebagai
pembina, seseorang harus tahu menempatkan dirinya agar bisa mengajak kaum muda
bertumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik.
Kaum muda tidak bisa dilepaskan
dari ikatannya dengan keluarga dan lingkungan di mana ia berada. Mereka selalu
bersinggungan dan merasakan kedekatan yang akrab sambil membangun interaksi
antara diri mereka dengan situasi di sekitar mereka. Ada kaum muda yang
bersikap kritis dan mampu terbuka dengan nilai-nilai yang membangun, namun ada
pula yang tidak mampu untuk menyaring nilai-nilai yang merusak. Hal ini mengakibatkan
kaum muda tidak dapat berkembang dengan baik sesuai harapan dan cita-cita
mereka.
Pengarahan diri kaum muda tidak
hanya menjadi tugas dan tanggung jawab dari kaum muda sendiri. Memang, mereka
memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk menentukan masa depan mereka. Namun
di lain pihak, mereka perlu mendapatkan pembinaan. Pembinaan pertama yakni
berasal dari keluarga. Hal ini dikarenakan keluarga memiliki peranan penting
dalam menanamkan jiwa dan semangat kerasulan yang kelak akan berguna bagi kaum
muda dalam masyarakat. Selain itu, para imam sebagai pemimpin dan pelayan
pastoral memiliki andil yang besar bagi kelangsungan hidup rohani kaum muda.
Para imam dapat dikatakan sebagai pembimbing dan pengarah kaum muda untuk mampu
menjadi agen-agen kerasulan di tengah umat dan masyarakat pada umumnya. Dan
yang terakhir ialah mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Mereka
inilah yang menanamkan nilai-nilai dan pendidikan yang akan membangun karakter
dan pola pikir yang kelak berguna bagi masa depan kaum muda.
Pembinaan untuk kerasulan harus
dimulai sejak pendidikan awal anak-anak. Tetapi secara istimewa hendaknya para
remaja dan kaum muda diperkenalkan dengan kerasulan, dan diresapi dengan
semangatnya. Selama hidup pembinaan itu harus disempurnakan, sejauh tugas-tugas
baru yang diterima menuntutnya. Maka jelaslah bahwa mereka yang bertugas dalam
pendidikan kristiani juga terikat oleh kewajiban untuk memberi pembinaan bagi
kerasulan.[6]
Kaum
muda juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan keluarga, imam sebagai pelayan
sakramen dan pewartaan sabda serta peran pendidik/guru. Oleh merekalah, kaum
muda dapat menimba nilai-nilai kehidupan yang sangat penting bagi diri mereka.
a.
K`um
muda dalam Keluarga
Orang tua memiliki peran yang
sangat sentral dalam membimbing dan mengarahkan anak-anak menjadi kaum muda
yang matang. Prinsip yang biasanya dipakai ialah penanaman nilai-nilai yang
penting untuk digunakan dalam kehidupan di masa depan. Nilai-nilai inilah yang
menggerakkan kaum muda untuk mampu berinteraksi dengan rekan-rekannya yang
sebaya sambil terbuka dengan perkembangan situasi saat ini. Sehingga dapat kita
lihat bahwa banyak orang tua yang mengharapkan anak-anak mereka mampu mencapai
kehidupan yang lebih baik daripada keadaan orang tuanya saat ini. Dalam dekrit
kerasulan awam ditulis demikian:
Merupakan tugas orang tua dalam
keluarga: menyiapkan hati anak-anak mereka sejak kecil untuk mengenali cinta
kasih Allah terhadap semua orang, serta mengajar mereka sedikit demi sedikit,
terutama dengan teladan, untuk memperhatikan keutuhan-kebutuhan jasmani maupun
rohani sesama.[7]
Kaum muda mendapatkan pendidikan
sejak dia masih berada dalam keluarga, artinya ketika ia berada dalam tahap
anak-anak. Mereka membutuhkan dukungan, perhatian dan bimbingan dari orang tua
sebagai daya pendorong untuk bertumbuh. Keluarga tidak pernah boleh dilewatkan
dalam tahap mencapai kematangan psikis dan fisik. Kita dapat membandingkan kaum
muda yang tumbuh di tengah retaknya hubungan dalam keluarga. Mereka akan
cenderung rentan terhadap persoalan-persoalan hidup dan seringkali mencari
tempat pelarian untuk menemukan kebahagiaan.
b.
Para
Imam dalam Katekese dan Pelayanan
Para imam adalah para pemimpin dan
pelayan umat Allah. Dalam hal ini, kaum muda juga merupakan bagian dari umat
Allah yang memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam bidang rohani. Konteks
kehidupan kaum muda seringkali perlu untuk dipahami secara mendalam untuk masuk
ke dalam jiwa kaum muda. Hal ini penting untuk melihat bahwa kaum muda tidak
boleh dilihat sebagai kumpulan orang-orang yang tidak bisa diatur, mau
seenaknya sendiri, atau pun orang-orang yang kurang mampu untuk mendengarkan
orang lain. Maka, imam perlu untuk mendengarkan dan mencari solusi untuk
memberikan kesadaran bahwa kaum muda perlu dibekali dengan katekese dan
pelayanan sabda. Hal ini digarisbawahi dengan sangat baik dalam dekrit tentang
Kerasulan Awam nomor 30, bunyinya “Hendaklah para imam dalam katekese dan
pelayanan sabda, dalam bimbingan rohani, dan dalam pelayanan-pelayanan pastoral
lainnya memperhatikan pembinaan untuk kerasulan.”[8]
c.
Para
Pendidik dan Guru
Para pendidik dan guru memiliki
peran yang sangat vital bagi kaum muda karena panggilan luhur mereka. Panggilan
untuk mendidik kaum muda khususnya dalam kerohanian dan keimanan dalam lingkup
sekolah tidak bisa dikesampingkan. Sebab, para guru dan pendidik tidak hanya
membekali diri dengan pengetahuan akademis, tetapi juga dengan kecakapan untuk
mendidik kaum muda.
Begitu pula merupakan tugas mereka
yang berkecimpung dalam bidang pendidikan di sekolah-sekolah, di kolese-kolese
dan lembaga-lembaga katolik lainnya: memupuk semangat katolik dan kegiatan
merasul di kalangan kaum muda.[9]
III.
Pembina,
Pendekatan dan Metode Pembinaan[10]
Seorang
pembina harus menempatkan dirinya sebagai kawan dalam perjalanan dalam proses
kedewasaan. Seorang kawan berarti ikut terlibat dan merasakan perjalanan hidup
kaum muda di mana pun ia berada. Dia harus mampu untuk menjalin relasi dan
kerja sama dengan kaum muda, sehingga membentuk rasa kebersamaan dan
persaudaraan. Di samping itu, pembina kaum muda harus memiliki kemampuan yang
lebih dalam menggerakkan kaum muda untuk mengeksplorasi diri mereka. Seorang pembina
yang baik akan terlihat dan berbakat dalam menyapa dan mengenal kaum muda
secara lebih dekat.
Para
pembina itu menjalankan fungsinya yang khas dengan mengisi, mengarahkan dan
memberi bobot pembinaan pada kegiatan-kegiatan kelompok, dan bukan mengambil
alih fungsi teknis organisatoris yang menjadi tugas penggerak/pengurus kelompok
sendiri.[11]
Dengan demikian, para Pembina tetap memberi kelonggaran kepada kaum muda dan
anggotanya untuk tetap menggerakkan organisasi dan memberi kebebasan untuk
berkreasi. Pembina hanya akan mengoreksi bila itu diperlukan. Adapun yang
menjadi ciri dari seorang pembina yang baik[12]
adalah sebagai berikut:
1.
Kepribadian: seorang pembina yang baik mampu mengenal dirinya dengan baik,
yakni kecenderungan-kecenderungan yang berasal dari dirinya sendiri. Contohnya
ialah mengenal kekurangan dan kelebihan dirinya sendiri, memiliki daya empati
dan simpati, memiliki semangat juang dan berkeinginan untuk maju serta melihat
ke masa depan dengan lebih positif.
2.
Hidup Rohani: memiliki kedekatan dengan Kristus dan sabda-Nya melalui Kitab
Suci, mengenal kekayaan Tradisi Liturgi Gereja dan pengetahuan tentang iman
Kristiani. Hal ini penting agar kaum muda yang didampingi mampu menimba
pengetahuan dan bertindak sesuai dengan imannya yang benar.
3.
Hidup Intelektual: seorang pembina tidak hanya mengembangkan pengetahuan dalam
keimanan, tetapi juga membangkitkan keingintahuan. Salah satu contoh nyata yang
bisa ditemukan adalah keinginan untuk membaca dan menulis, serta berlinat dalam
mengembangkan pengetahuan yang lain. Minat lain yang bisa ditumbuhkan ialah
bagaimana mengembangkan pergaulan yang sehat di antara sesama kaum muda,
mengenalkan budaya dan kesenian kepada kaum muda. Tentu saja, ini akan membentuk karakter dan
cara berpikir seorang kaum muda yang cerdas dan rendah hati.
5.
Memiliki (dan dimiliki oleh) sebuah Komunitas. Seorang pembina biasanya
memiliki komunitas yang tetap dan memberikan waktu kepada kaum muda.
6.
Ketrampilan : ketrampilan ini biasanya berhubungan dengan cara untuk memimpin
suatu pertemuan atau perkumpulan orang muda. Dalam sebuah acara, pembina dapat
melakukan hal-hal demikian:
-
memimpin animasi (gerak-lagu) bahkan secara spontan.
-
memimpin pertemuan terbatas, misalnya 10-20 orang.
-
memimpin doa bersama dan ibadat sabda ringkas.
b. Pendekatan:
-pendekatan
Pribadi:
Seorang
pembina adalah orang yang mampu untuk melakukan pendekatan kepada masing-masing
pribadi[13].
Hal ini disebabkan karena masing-masing pribadi adalah unik dan khas. Dengan
melakukan pendekatan pribadi, kaum muda tidak akan merasa diajar atau dihakimi.
-pendekatan
Kelompok:
Pendekatan
kelompok dibedakan menjadi dua yakni:
1)
Kelompok Kecil;
Dengan
kelompok kecil, pembina dapat melakukan
dinamika yang lebih efektif. Dengan sebuah kelompok kecil, kelangsungan
kelompok dapat lebih terjamin karena masing-masing anggota dapat saling
mengenal.
2)
Kelompok Besar
Kelompok
besar biasanya dilaksanakan dalam kegiatan yang melibatkan jumlah anggota yang
banyak. Dengan demikian, sarana dan pelaksanaan dilakukan untuk menyemangati
dan meneguhkan persaudaraan dan rasa kerja sama yang erat dalam kelompok. Dapat
juga dilakukan dengan menggerakkan kelompok besar dengan melalui kelompok yang
lebih kecil.
c.
Metode Pembinaan
-Eksperiensial berarti mengajak kaum
muda menganalisa secara kritis pengalaman-pengalaman hidup/iman untuk menemukan
sendiri nilai, arti, dan makna baru yang akan menjadi bekal dan kekuatan dalam
mengembangkan dirinya dan menjawab tantangan-tantangan hidup/iman di masa
mendatang.[14]
Pembina memberikan kemungkinan bagi kaum muda untuk menggali pengalaman,
kejadian, perasaan, dan kehidupannya untuk direfleksikan. Refleksi inilah yang
kelak mengantar kaum muda penemuan kepada makna yang baru. Jadi, yang
ditekankan adalah proses penemuan dari pengalaman diri sendiri.
-Dialogal
Ciri
dialogal terwujud dalam relasi dan interaksi antar kaum muda maupun dengan pembina
yang sedang memimpin kegiatan pembinaan.[15]Baik
relasi maupun interaksi antara kaum muda dengan pembina, diharapkan terjalin
penghargaan terhadap kaum muda sehingga mereka dapat bertumbuh dan berkembang
tanpa merasa digurui atau digiring menurut pembina.
IV.
Langkah
Pembinaan:
Pembinaan yang baik adalah pembinaan yang
memperhatikan kebutuhan kaum muda, baik yang berdimensi manusiawi maupun yang
berdimensi teologis karya pastoral.[16]
Keduanya merupakan dua realitas yang berbeda sehingga dalam pelaksanaannya
seringkali seorang pembina harus menghadapi aneka kesulitan. Maka dari itu,
pembina memerluka beberapa hal untuk menyiapkan bahan demi terselenggaranya
sebuah pembinaan yang baik, yakni:
a. Perencanaan
pembinaan
b. Memilih
metode
c. Proses
pembinaan: metode dan langkah pelaksanaan
d. Posisi
pembina
V.
Kesimpulan
Para
pembina kaum muda adalah sosok penting dalam menumbuhkembangkan kaum muda yang
tangguh dan handal di tengah masyarakat. Mereka bagaikan kompas yang memberikan
petunjuk kepada kaum muda untuk mengarahkan diri mereka. Namun di balik pembina
yang baik, tidak hanya dibutuhkan seorang yang memiliki kemauan saja. Lebih
dari itu, seorang pembina harus dilengkapi dengan pengalaman yang memadai,
mampu untuk mengembangkan diri, memiliki cinta yang mendalam terhadap kaum muda
dan memberikan teladan kebaikan.
[1] Bdk. Dekrit Kerasulan Awam. Art.
30., hlm. 357.
[3] Bdk. Rm. Adi, CM, Lic, Teologi Pastoral II (Pastoral Kaum
Muda-mudi), Malang: STFT Widya Sasana. 2010. Hlm. 2.
[6] Op.Cit., Dekrit tentang Kerasulan Awam art.30. 375.
[7] Ibid., Hlm, 375.
[8] Ibid. Hlm. 376.
[11]
Bdk. Komisi Kepemudaan
Konferensi Waligereja Indonesia, Pedoman
Pastoral Kaum Muda, Jakarta: KWI, 1993.
[12] http://katolisitas.org/8110/bagaimana-membentuk-omk-dan-pembina-omk-yang-ideal, diakses tanggal 15 April 2012.
[13] Op.Cit., Komisi Kepemudaan., hlm 18.
[14] Ibid., hlm 20
[15] Ibid. hlm 20
[16] Op.Cit. Rm. Adi. CM, hlm. 10.